Senin, 10 Januari 2011

Keluarga Sakinah




YAYASAN AL-SOFWA
Jl.Raya Lenteng Agung Barat No.35 PostCode:12810 Jakarta Selatan - Indonesia
Phone: 62-21-78836327. Fax: 62-21-78836326. e-mail: info @alsofwah.or.id | website: www.alsofwah.or.id | Member Info Al-Sofwa
Artikel yang dimuat di situs ini boleh di copy & diperbanyak dengan syarat tidak untuk komersil.

Artikel Keluarga Sakinah
IBU SEKOLAH PERTAMA
Jumat, 21 September 07
Satu hakikat yang tidak diperdebatkan oleh dua orang bahwa makhluk hidup tidak bisa lepas dari induk di mana darinya dia berasal. Memang setiap makhluk berasal dari dua unsur: jantan dan betina, akan tetapi jika dibandingkan kebutuhan dan ketergantungannya kepada salah satu unsur di atas maka kita dapatkan bahwa ketergantungannya kepada unsur betina lebih dominan. Jika ketergantungannya kepada unsur jantan pada benih jantan yang membuahi, dan sisi ini juga diimbangi oleh betina pemilik telur yang dibuahi, maka sesudah itu bisa dipastikan bahwa makhluk hidup bisa terlepas dari ketergantungan kepada jantan tetapi tidak kepada betina, maka setelah pembuahan makhluk tersebut membutuhkan rumah aman yang menjamin pertumbuhannya sampai dia siap lahir sebagai penghuni baru alam semesta. Selama itu segala kehidupannya bergantung kepada induknya dan setelah dia lahir dia tetap bergantung kepada susu induknya jika dia termasuk mamalia, jika tidak maka dia bergantung kepada induknya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, induknya mengajarinya berlindung dari bahaya, mengajarinya mencari makan, mengajarinya kekhususan-kekhususan dasar yang dimilikinya dan sebagainya, dan pada semua itu barangkali si jantan entah di mana keberadaannya.

Hakikat ini berlaku pula pada manusia walaupun terdapat beberapa sisi perbedaan namun secara prinsip tidaklah berbeda. Perbedaannya terletak pada adanya jalinan perkawinan sehingga dengannya terdapat tanggung jawab dalam bentuk perlindungan dan nafkah dari bapak kepada anaknya dan karenanya anak bergantung kepadanya dalam hal tersebut. Walaupun demikian jika dibandingkan dengan ibu maka kita bisa katakan bahwa ketergantungan anak kepadanya jauh lebih besar. Menggunakan perbandingan Rasulullah saw, ketergantungan anak kepada ibu adalah tiga perempat, sementara kepada bapak adalah sisanya yaitu seperempat, kurang dari setengah. Maka dalam hadits Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah Nabi saw mewasiatkan kepada seorang laki-laki agar berbuat baik kepada ibunya yang beliau tegaskan sebanyak tiga kali, baru pada kali keempat kepada bapaknya.


عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يارسول الله من أحق الناس بحسن صحابتي؟ قال : " أمك" قال: ثم من؟ قال: " أمك" قال: ثم من؟ قال: " أمك" ثم من؟ قال: " أبوك ".

Dari Abu Hurairah berkata, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw, dia berkata, “Ya Rasulullah, siapa orang yang paling berhak mendapat kebaikanku?” Rasulullah saw menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Kemudian siapa?” Rasulullah saw menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Kemudian siapa?” Rasulullah saw menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Kemudian siapa?” Rasulullah saw menjawab, “Kemudian bapakmu.” Sebagian ulama berkata, “Hal itu karena ibu memiliki tiga perkara yang sangat mahal yang tidak dimiliki oleh bapak: mengandung, melahirkan dan menyusui.” Firman Allah,

حملته أمه كرها ووضعته كرها ، وحمله وفصاله ثلاثون شهرا .

“Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (Al-Ahqaf: 15).

Satu hakikat lagi yang tidak diperdebatkan oleh dua orang bahwa masa yang dibutuhkan oleh seorang anak untuk bisa mandiri atau masa kekanak-kanakan anak manusia lebih panjang daripada makhluk hidup yang lain, diawali dengan kehamilan, melahirkan dan menyusui terjalin ikatan emosional antara ibu dengan anak yang tidak ada duanya, ini artinya interaksi anak dengan ibu dalam fase-fase tersebut relatif lebih intens, karenanya anak banyak mengambil dan belajar dari ibu dalam masa-masa tersebut khususnya masa-masa balita dan sekolah dasar, lebih-lebih masa pra sekolah, ibunya yang melatihnya duduk, berdiri, dan berjalan, ibulah yang mendekap dan menggendongnya jika dia jatuh ketika berlatih berjalan, ibulah yang melatihnya berbicara, memanggil mama, papa, ibulah yang menyuapinya sekaligus melatihnya cara-cara makan, ibulah yang … dan seterusnya.

Hakikat inilah yang menjadi pijakan penulis untuk berkata, ibu adalah sekolah pertama. Ungkapan ini bukan milik penulis karena penulis bukanlah orang pertama yang mengatakannya. Seorang penyair berkata,

الأم مدرسة إذا أعددتها
أعدت جيلا طيب الأعراق

Ibu adalah madrasah jika kamu menyiapkannya
Maka dia menyiapkan generasi berkarakter baik

Penyair lain berkata,

وإذا النساء نشأن فى أمية
رضع الرجال جهالة وخمولا

Apabila para ibu tumbuh dalam ketidaktahuan
Maka anak-anak akan menyusu kebodohan dan keterbelakangan


Ibu adalah sekolah pertama sementara pendidikan merupakan tanggung jawab bapak sebagai penanggung jawab keluarga maka termasuk kewajiban bapak memilih sekolah pertama yang baik bagi anaknya. Melihat betapa besar pengaruh sekolah pertama ini bagi anak maka Islam menganjurkan memilih sekolah pertama yang baik dan menganjurkan bahkan melarang memilih sekolah yang tidak baik. Ketika Nabi saw menyodorkan empat perkara yang menjadi alasan seorang wanita dinikahi maka beliau menganjurkan memilih wanita dengan kriteria keempat yaitu pemilik agama.

عن أبي هريرة رضي الله عنه ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: تنكح المرأة لأربع : لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها ، فاظفر بذات الدين تربت يداك .

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda, “Wanita dinikahi karena empat perkara: hartanya, kedudukannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah pemilik agama niscaya kamu beruntung.” (Muttafaq alaihi).

Salah satu tujuan pernikahan adalah lahirnya anak keturunan yang shalih, dan peluang keshalihan anak keturunan akan tetap terbuka jika sekolah pertama bagi anak shalih pula. Kamu tidak akan memanen anggur dari duri, jangan berharap air dari api dan orang yang tidak memiliki tidak mungkin memberi. Dari sini penulis memahami bahwa di antara hikmah mengapa menikahi wanita musyrikah tidak diizinkan bahkan –menurut salah satu pendapat di kalangan para ulama dan ini insya Allah yang rajih- menikah dengan wanita pezina juga tidak diizinkan. Untuk yang pertama al-Qur`an berkata,

ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن ، ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم .

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah: 221).
Untuk yang kedua al-Qur`an berkata,

الزانى لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك ، وحرم ذلك على المؤمنين .

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (An-Nur: 3).

Menurut Anda apa yang diberikan ibu sebagai sekolah pertama kepada anaknya jika dia wanita musyrik atau pezina? Anda pasti tahu. Kata orang Arab, bejana memberi rembesan sesuai dengan isinya. Hikmah ini dikatakan secara nyata oleh al-Qur`an ketika ia melarang menikahi wanita musyrikah.

أولئك يدعون إلى النار .

“Mereka mengajak ke neraka.” (Al-Baqarah: 221). Jika orang-orang musyrik termasuk wanitanya yang menyeru ke neraka maka para pezina termasuk wanitanya menyeru kepada zina, lalu apa harapan Anda darinya?

Karena ibu adalah sekolah pertama maka dia dituntut memiliki kemampuan-kemampuan dasar agar mampu memerankan fungsinya secara positif dan berarti kepada anaknya. Di antara kemampuan-kemampuan tersebut adalah:
1. Kemampuan dasar agama khususnya yang berkaitan dengan ibadah-ibadah praktis sehari-hari seperti wudhu, adab buang hajat, doa sehari-hari dan sebagainya.
2. Kemampuan dasar calistung (membaca, menulis dan berhitung) disertai pengetahuan tentang metode pengajarannya kepada anak.
3. Kemampuan dasar bermain yang edukatif karena dunia anak adalah dunia bermain dan tidak semua permainan memiliki nilai positif, di sini ibu yang memilah.
4. Pengetahuan dasar-dasar akhlak yang baik dan metode penamaannya pada anak.
5. Pengetahuan dasar tumbuh kembang anak dan faktor penunjanganya. Hal ini untuk mengoptimalkan pertumbuhan anak sehingga dia menjadi anak yang sehat karena kesehatan fisik menunjang perkembangan sisi-sisi anak yang lain.

Apapun ibu sebagai sekolah pertama dengan nilai-nilai positifnya tidak terwujud dengan baik tanpa kesediaan dari ibu itu sendiri, di mana ibu menomorduakan urusan anak dengan lebih mementingkan urusannya yang lain. Indikasi dari hal ini tercium manakala ibu lebih cenderung bersibuk diri di luar rumah dan menyerahkan anaknya kepada orang lain, pembantu atau nenek. Alasan karir atau pekerjaan adalah faktor pemicu utama, padahal jika para ibu mau jujur dalam membandingkan maka dia akan melihat bahwa keuntungan yang diperoleh dari karirnya lebih rendah dibanding dengan kerugian akibat dia meninggalkan anaknya bersama orang lain. Bagaimana pun ibu tidak tergantikan, tidak oleh nenek lebih-lebih pembantu. Dari sini maka agama Islam menyerukan kepada wanita muslimah agar tidak meninggalkan pos yang sangat membutuhkannya dengan tetap di rumah.

وقرن فى بيوتكن .

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” (Al-Ahzab: 33).
Seruan tetap di rumah yang disuarakan Islam sejak hari kelahirannya ini bersambut gayung dengan ajakan dari beberapa kalangan yang berpikiran obyektif lagi positif di zaman ini kepada para wanita khususnya para ibu agar kembali ke rumah. Ajakan ini disuarakan dari beberapa kalangan negara di barat setelah mereka merasakan pahitnya resiko dari meninggalkan anak-anak dengan keluar rumah. Mereka mengakui nilai-nilai positif dari seruan Islam kepada para wanita agar tetap di rumah. Dan keutamaan adalah apa yang diakui oleh musuh. Adakah ibu muslimah mengambil pelajaran?

MUSLIMAH DENGAN TETANGGA
Kamis, 13 September 07
Sebagai makhluk sosial manusia hidup di tengah-tengah masyarakat, dia tidak lepas dari ikatan lingkungan di mana dia tinggal, begitu pula dengan seorang muslimah, dia pun hidup di masyarakat di mana dia menjadi bagian darinya, dengan alasan apapun dia tidak mungkin membebaskan diri dari bagiannya dan merasa seolah-olah tinggal sendiri dengan mengacuhkan lingkungan sekitar, sementara pada saat yang sama seorang muslimah juga harus menghadapi kenyataan bahwa dalam lingkungannya terdapat sisi negatif yang mengharuskannya bersikap hati-hati.
Lingkungan di mana seseorang tinggal lazim disebut dengan tetangga, dan tema tetangga sebenarnya bukan tema khusus muslimah, ia mencakup setiap muslim akan tetapi karena muslimah sebagai istri kerap berada di rumah sementara seorang muslim sebagai suami kerap berada di luar rumah, maka secara otomatis peluang interaksi kepada tetangga bagi muslimah lebih lebar.
Setiap muslim dan muslimah mengetahui posisi tetangga dalam agama Islam di mana oleh agama Islam tetangga diberi hak-hak tersendiri yang tidak diberikan kepada selainnya, hal ini terbaca dari wasiat Jibril yang berulang-ulang kepada Nabi saw tentang tetangga sehingga beliau mengira tetangga akan mewarisi. (Hadits Muttafaq alaihi dari Ibnu Umar dan Aisyah).
Di samping itu tetangga bisa menjadi salah satu tolak ukur iman seseorang. Nabi saw bersabda,


من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليحسن إلى جاره .

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya dia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Sebaliknya tetangga bisa menjadi salah satu tolak ukur ketidakimanan seseorang. Nabi saw bersabda,

" والله لا يؤمن ، والله لا يؤمن ، والله لا يؤمن !" قيل : من يا رسول الله ؟ قال : " الذي لا يأمن جاره بوائقه ".

“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Ketika Rasulullah saw ditanya maksudnya beliau menjawab, “Orang di mana tetangganya tidak aman dari keburukan-keburukannya.” (Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah). Karena itu tidak aneh kalau tetangga bisa mempengaruhi surga.
Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah,

لا يدخل الجنة من لا يأمن جاره بوائقه .

“Tidak masuk surga orang di mana tetangganya tidak aman dari keburukan-keburukannya.”
Melihat kedudukan tetangga maka selayaknya seorang muslimah memperhatikan hak-haknya karena itu merupakan bukti keimanannya di samping menjadi sebab hubungan yang baik.
Hendaknya seorang muslimah ringan tangan dengan memberikan kebaikan kepada tetangga tanpa merasa kebaikan yang diberikan remeh sebab sangat mungkin tetangga tidak melihat apa yang diberikan akan tetapi dia melihat pemberian yang merupakan bukti itikad baik untuk menjalin hubungan yang baik.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال ، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " يا نساء المسلمات لا تحقرن جارة لجارتها ولوفرسن شاة ".

“Wahai wanita-wanita muslimah, janganlah tetangga merasa remeh ketika hendak memberikan sesuatu kepada tetangganya walaupun ia hanya telapak kaki domba.” (Muttafaq alaihi).
Bisa jadi keadaan seorang muslimah tidak memungkinkannya untuk memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada tetangganya, tidak masalah karena tidak ada pembebanan di luar kemampuan, pun demikian masih ada sisi non materi yang bisa diberikan bahkan bisa jadi pahalanya lebih besar yaitu bimbingan keagamaan. Ya, seorang muslimah bisa menjadi daiyah meskipun dalam skala tetangga, membimbing membaca al-Qur`an, membimbing shalat dan membimbing dalam kebaikan-kebaikan lainnya. Tidak perlu merasa remeh karena memang masih ada muslimah-muslimah yang belum bisa beribadah dengan baik dan benar, dan mereka akan dengan senang hati menyambut bimbingan kepada kebaikan.
Termasuk kebaikan non materi adalah mengunjunginya secara berkala, apabila bertemu menjabat tangannya sambil tersenyum dan mengucapkan salam serta menanyakan kabarnya. Bagaimana jika seorang muslimah tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan, tidak materi tidak pula non materi? Tidak masalah karena masih ada kebaikan pasif yang pasti dimiliki dan mampu dilakukan oleh siapa pun yaitu menahan diri dari berbuat buruk kepada tetangga baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dalam salah satu hadits di atas Rasulullah saw menganggap seseorang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya tidak beriman.
Salah satu keburukan yang kerap terjadi dari tetangga kepada tetangga adalah memperolok-olok, saling memanggil dengan panggilan buruk dan ghibah, sebagaimana yang difirmankan Allah,

يأيها الذين ءامنوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيرا منهم ولا نساء من نساء عسى أن يكن خيرا منهن ولا تلمزوا أنفسكم ولا تنابزوا بالألقاب بئس الاسم الفسوق بعد الإيمان ، ومن لم يتب فأولئك هم الظالمون .

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Al-Hujurat: 11).
Salah satu bentuk kebaikan pasif adalah tidak mempersoalkan tetangga menunaikan hajat baiknya walaupun ia berkait denganmu wahai muslimah, tetapi kamu tidak dirugikan,

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : " لا يمنع جار جاره أن يغرز خشبة في جداره ".

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Hendaknya tetangga tidak menghalangi tetangganya untuk menancapkan kayu di dindingnya.” (Muttafaq alaihi).
Baik kepada tetangga memang diharuskan akan tetapi tidak berarti seorang muslimah menghabiskan kebanyakan waktunya bersama tetangga, satu bersama ini, esok bersama si anu, jika demikian maka justru bukan kebaikan yang didapatkan karena rumah muslimah sendiri bisa terbengkalai, dan itu berarti memperburuk hubungan dengan keluarganya yaitu suami, di samping hal tersebut bisa menyeret kepada perbincangan-perbincangan yang tidak baik. Bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga mengikuti semua ajakan dan kemauannya karena tidak semua ajakan tetangga itu baik. Biasanya dalam kondisi tersebut yang muncul adalah perasaan tidak enak atau rikuh atau takut dianggap tidak baik kepada tetangga sehingga meskipun seorang muslimah mengetahui bahwa kemauan tetangga tersebut tidak baik dia tetap menurutinya dengan alasan di atas. Sikap ini keliru, lebih baik berterus terang melalui penyampaian dengan bahasa yang baik, insya Allah tetangga bisa memaklumi, syujur-syukur muslimah bisa membelokkan kemauan yang tidak baik itu sehingga ia menjadi baik. Kalau pun dia memutus karena itu tidak perlu bersedih karena kesalahan bukan dari Anda. Ingat agama memerintahkan berbuat baik kepada tetangga dengan timbangan agama bukan dengan timbangan para tetangga.

MENCIPTA RUMAH IDEAL
Senin, 14 Mei 07

Rumah merupakan salah satu di antara nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar hamba-hamba-Nya bisa berlindung dari panasnya matahari, dinginnya hujan, dan udara dari luar, serta untuk menyimpan barang-barang miliknya, juga untuk menutup diri dan menjaga keluarganya dari pandangan manusia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal. (QS. An-Nahl/16: 80).

Di samping fungsi-fungsi tersebut, juga masih banyak lagi manfaat-manfaat yang diperoleh manusia dari rumah. Kita tidak bisa membayangkan seandainya hidup tanpa rumah. Niscaya banyak bahaya yang akan mengancam kita dan keluarga kita, baik dari sisi kesehatan, keamanan, kenyamanan, maupun keselamatan. Jika kita amati, orang-orang yang tidak mempunyai rumah, baik sedang di kamp pengungsian atau gelandangan yang tinggal di bawah jembatan atau di pinggir jalan, maka kita akan merasakan betapa besar nikmat sebuah rumah.

Begitulah, betapa indahnya sebuah rumah. Ia merupakan tempat tinggal, tempat berkumpul dengan keluarga, tempat mendidik dan melatih anak-anak kita agar tumbuh lebih dewasa dan bertanggung jawab, di samping sebagai tempat aman bagi kaum wanita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. (QS. Al Ahzab/33: 33).

Rumah yang ideal dan bahagia adalah rumah yang dibangun di atas dasar ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pilar-pilarnya mengikuti dan mengambil hukum dari al qur’an dan as-Sunnah.

Penghuninya juga ridha dengan keputusan yang diambil dari keduanya. Begitu juga apabila terjadi perselisihan dan timbul permasalahan, mereka mengembalikan kepada kedua sumber hukum yang mulia, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan dalam firman-Nya surat an-Nisa’ ayat 59, yang artinya: kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dari sisi lahiriahnya, rumah tersebut jauh dari sifat berlebih-lebihan, dan lebih menunjukkan kesederhanaan, baik dalam masalah makanan, minuman, pakaian, perhiasan, peralatan maupun perabot rumah tangga. Penghuninya selalu memperhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-a’raf/7: 31).

Maksudnya, jangan melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh, dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan. Namun demikian, bukan berarti Islam mengesampingkan masalah keindahan rumah. Akan tetapi yang dimaksudkan ialah dengan cara yang sederhana dan tidak boros. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya : Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan rizki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al- a’raf/7: 32).

Bahwasanya perhiasan-perhiasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman. Adapun di akhirat nanti, semata-mata hanyalah untuk orang-orang beriman saja.

Kesederhanaan bersikap dan lurus dalam berfikir ini merupakan syari’at Islam yang diajarkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita, seperti tampak dalam hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah:

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا

Rasulullah tidak diperintahkan memilih di antara dua perkara melainkan beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya. (HR. Imam Bukhari, 3/1306).

Rumah seperti inilah yang diharapkan oleh setiap muslim, tidak hanya menjadi tempat tinggal dan istirahatnya, namun mampu memenuhi kebutuhan ruhani dan jasmaninya, juga menjadi tempat untuk mendidik istri dan anak-anaknya, menggantunkan harapannya dan cita-citanya, menjadikan keluarganya di atas bangunan takwa dan iman, selalu dinaungi oleh perasaan tenteram dan kebahagiaan dalam upaya menggapai ridha Rabbnya. Semua ini dapat tercapai bila rumah tersebut dipenuhi dengan dua perkara, yaitu secara fisik maupun secara maknawi.

SECARA FISIK
Pertama, Menjaga Kebersihan Rumah.


Rumah ideal ialah rumah yang memperhatikan kebersihan, selalu menjaganya dan mengaplikasikan firman Allah :

Dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah/9: 108).

Islam sangat memperhatikan masalah kebersiha, karena kebersihan merupakan bagian dari ibadah. Seorang muslim dituntut untuk selalu menjaga kebersihan pakaiannya dari najis dan kotoran. Begitu juga diperintahkan untuk bersuci setelah membuang air besar ataupun kecil, membersihkan kotoran, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, membersihkan diri dari hadats, haid dan nifas. Semua itu merupakan kebersihan-kebersihan yang dianjurkan dan diperhatikan oleh kaum Muslimin. Demikian juga dengan menggosok gigi atau menggunakan siwak dan lain-lainnya.

Islam juga memerintahkan kita untuk membersihkan hati dari dengki dna hasad, menjaga mulut dari perkataan yang tidak bermanfaat, serta perkataan yang menyakitkan orang lain. Dengan demikian, seorang muslim benar-benar termasuk orang-orang yang menjaga kebersihan, sehingga tidak ada jalan bagi setan masuk ke dalam rumahnya.

Kedua, Memperhatikan hijab.
Dengan adanya hijab, maka kaum wanita yang mendiami rumah akan terjaga kehormatannya, dan merasa aman dari pandangan orang lain, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hari mereka. (QS al Ahzab/33: 53).

Menurut Imam al Qurthubi, dalam ayat ini terdapat dalil bahwasanya Allah mengijinkan bertanya kepada isteri-isteri Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dari belakang tabir, apabila ada keperluan atau ingin bertanya tentang suatu masalah; dan seluruh wanita termasuk dalam makna ini, sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah bahwasanya wanita adalah aurat, badannya dan suaranya.(Tafsir al Qurthubi 14/227).

Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi menjelaskan dalam kitab beliau, bahwasanya dalam ayat yang mulia ini terdapat dalil yang sangat jelas tentang wajibnya tabir dan merupakan hukum yang umum bagi seluruh wanita, bukan khusus bagi isteri-isteri Nabi ‘alaihi wa sallam saja, walaupun dari sisi konteks kalimatnya khusus bagi mereka. Akan tetapi, keumuman sebabnya sebagai dalil bagi keumuman hukumnya. (Tafsir Adhwa’ul-Bayan, 6/242).

Ketiga, Memisahkan tempat tidur anak,
Khususnya apabila mereka mendekati usia baligh.
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ


Perintahkan anak yang berumur tujuh tahun untuk mengerjakan shalat; pukullah mereka pada umur sepuluh tahun jika mereka enggan mengerjakannya, dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, 495).

Sebaiknya orang tua memisahkan tempat tidur anak-anak yang hampir baligh, laki-laki atau perempuan, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk melakukannya. Berkumpulnya mereka dalam satu tempat tidur, tersingkapnya aurat dan bersentuhan badan mereka, akan menimbulkan keburukan dan kerusakan, khususnya pada umur-umur yang mendekati baligh. Al Manawi di dalam kitab Fathul-Qadir Syarhi al Jami’ berkata: “Pisahkan tempat tidur anak-anak, jika mereka telah berumur sepuluh tahun, untuk menjaga ddari gejolak nafsu walaupun sesama anak perempuan.
Keempat, Tidak memasukkan gambar-gambar makhluk yang bernyawa dan patung-patung ke dalam rumah, dan juga tidak memelihara anjing.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَقُولُ لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةُ تَمَاثِيلَ

Sesungguhnya malaikat tidak memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar. (HR al Bukhari)

Di dalam kitab beliau, al Iman Manawi berkata: “Para malaikat yang dimaksud di sini ialah malaikat rahmat dan barakah, atau malaikat yang mengelilingi manusia, atau mengunjunginya untuk mendengar dzikir atau yang semisalnya, bukan malaikat yang mencatat amal perbuatan manusia; sesungguhnya para malaikat itu tidak pernah meninggalkan mereka sekejap pun, demikian juga malaikat pencabut nyawa. Para malaikat tidak memasuki rumah atau sejenisnya, yang di dalamnya terdapat gambar; karena diharamkannya menggambar makhluk hidup; karena tukang gambar seakan Allah dalam masalah pembentukan. Ini memberikan kesimpulan sebab diharamkannya gambar dan kerasnya pengingkaran tentang hal itu. Dan malaikat tidak memasuki rumah, yang di dalamnya ada anjing, karena najisnya dan menyerupai tempat-tempat yang kotor; padahal malaikat tersucikan dari tempat-tempat kotor. Maka tepatlah malaikat menjauhi rumah-rumah seperti ini”. (Faidhul-Qadhir, 2/394).

Kelima, Menjauhkan rumah dari nyanyian dan alat-alat musik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih. (QS. Luqman/31: 6-7).

Al Wahidi dan yang lainnya berkata: “Sebagian besar ahli tafsir (berpendapat), yang dimaksud dengan “perkataan yang tidak berguna” (dalam ayat ini) ialah nyanyian. Demikian juga pendapat ‘Abdullah Ibn ‘Abbas, ‘Abdullah Ibn Mas’ud, ‘Abdullah Ibn Umar, Mujahid dan Ikrimah. (Ighatsatul-lihfan fi Mashayidisy-Syaithan, 1/360).

Imam Ibnu Qayyim menjelaskan: “Sesungguhnya tidak engkau dapatkan seseorang yang sibuk dengan nyanyian dan alat-alatnya melainkan ia telah tersesat ilmu dan amalnya dari jalan petunjuk. Dia mendengarkan nyanyian dan berpaling dari al Qur’an. Apabila ditunjukkan kepadanya antara mendengar nyanyian dan mendengar al Qur’an, maka ia lebih memilih mendengarkan nyanyian, dan merasa sangat berat untuk mendengar al Qur’an.

Beliau rahimahullahu melanjutkan penjelasannya: “Pembicaraan dalam masalah (bahaya nyanyian) ini, dirasakan oleh orang yang masih ada kehidupan di hatinya. Adapun orang yang hatinya telah mati dan fitnahnya cukup besar, maka dia menutup dirinya dari nasihat tersebut. Allah telah berfirman, yang artinya: Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS al Maidah/5 ayat 41).

Keenam, Membersihkan rumah dari segala tanda-tanda salib.
Sesuatu yang sangat memprihatinkan bahwasanya sebagian besar kaum muslimin mengikuti kebiasaan orang-orang kafir secara membabi buta. Orang-orang kafir membuka pintu-pintu kesesatan dengan memasukkan tanda-tanda salib ke dalam rumah-rumah kaum Muslimin tanpa mereka sadari. Tanda-tanda salib ini berbentuk ornamen hiasan pada baju, jendela, buku-buku dan lain-lainnya.

Oleh karena itu berhati-hatilah! Jangan sampai barang yang keji ini masuk ke dalam rumah kita, karena ini merupakan ciri-ciri kesyirikan dan kekufuran. Larang ini disebutkan dalam hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam :

Sesungguhnya Nabi, tidaklah meninggalkan sesuatu yang berbentuk salib, melainkan beliau rusak. (HR Imam Bukhari, 5/2220).

SECARA MAKNAWI
Pertama, Berusaha membina hubungan yang harmonis antara suami dan isteri.


Rumah tangga bahagia adalah kunci kebaikan umat. Sedangkan kebaikan umat merupakan faktor utama tercapainya kejayaan dan kemuliaan. Maka umat tak mungkin baik, kecuali pondasi paling mendasar dari kehidupan masyarakat, yaitu rumah tangga menjadi baik. Rumah tangga tak mungkin bahagia, kecuali jika suami dan isteri bersikap baik, tunduk dan patuh dalam menjalankan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikian juga dengan suami yang baik, ia selalu menunaikan kewajiban-kewajibannya; baik yang berhubungan dengan Rabbnya, keluarga, maupun orang-orang yang menjadi tanggungannya dengan ketulusan hati dan penuh tanggung jawab. Selain itu, dalam urusan rumah tangga, dia tidak serakah, tidak menuntut haknya lebih banyak dari yang semestinya. Dia pun lapang dada, bila haknya berkurang dari yang seharusnya. Pantang menyia-nyiakan kewajiban. Bahkan, ia tunaikan terlebih dahulu kewajibannya sebelum menuntut haknya. Sedangkan seorang isteri yang baik, ialah isteri yang taat kepada Rabbnya, mempergauli suaminya dengan baik, tidak menyia-nyiakan kewajibannya dan tidak menuntut haknya lebih dari semestinya.

Dari rumah inilah akan lahir tokoh-tokoh besar umat.Baik dari kalangan pria atau wanita. Perkawinan adalah ikatan terpenting. Bila ikatan ini berjalan di atas ketakwaan, iman dan kasih sayang, maka umat ini akan tampil dengan kemuliaannya dan disegani. Sebaliknya, jika hak dan kewajiban rumah tangga diabaikan maka rumah tangga akan berantakan. Demikian juga umat akan tercerai-berai dan terhinakan. Oleh sebab inilah Islam hadir untuk memelihara ikatan tersebut, mengokohkannya dan menjaga eksistensinya.

Kedua, Menjaga hubungan yang baik antara anak dan orang tua.

Rumah yang penuh kebahagiaan, ialah rumah yang dibangun di atas dasar ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang teguh dengan adab-adab Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, dan berbakti kepada orang tua; yaitu dengan berbuat baik, memenuhi seluruh haknya, selalu menaati orang tua dalam perkara yang ma’ruf, menjauhi perkara-perkara yang dibencinya.

Berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban yang sangat ditekankan. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan dengan perintah untuk mengesakan-Nya, Allah berfirman, yang artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (QS al Isra’/17: 23).

Juga disebutkan dalam sebuah hadits, Rasullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ

“Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka,” ditanyakan kepada beliau: “Siapa, wahai Rasulullah?” (Rasulullah menjawab), “Orang yang menjumpai kedua orang tuanya dalam keadaan usia lanjut salah satunya atau keduanya, lalu ia tidak dapat masuk surga.” (HR. Muslim 4628).

Berbakti kepada orang tua merupakan cahaya penerang bagi rumah kaum Muslimin. Di dalamnya terdapat adab-adab, misalnya: mendengar perkataan mereka, memenuhi perintah mereka, menjawab panggilan mereka, merendahkan diri kepada orang tua dengan penuh kasih sayang, tidak menyelisihi perintahnya, mendoakan dan menjaga kehormatannya setelah mereka wafat, menyambung tali silaturrahmi dengan kerabat-kerabatnya semasa mereka masih hidup dan sesudah wafatnya, tidak durhaka kepada mereka, serta bersedekah atas nama mereka. Dengan demikian rumah-rumah yang dihuni oleh orang-orang yang berbuat baik kepada orang tuanya terasa tenang, tenteram, dan terjaga dari godaan-godaan setan.

Ketiga. Hubungan sesama anak-anak di dalam rumah.
Menjadi kewajiban orang tua untuk memperhatikan sikap anak-anak terhadap saudara-saudaranya. Berusaha membimbing mereka menuju kebaikan sesuai dengan kemampuannya. Tekankan anak yang lebih muda untuk menghormati yang lebih tua, dan yang lebih tua menyayangi yang lebih muda.
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرِنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا

Bukan dari golongan kami orang yang tidak mengetahui hak orang yang lebih tua dan tidak menyayangi orang yang lebih muda. (HR. Ahmad).

Hendaklah orang tua mengajarkan adab dan sopan santun terhadap sesama mereka, tidak saling mengejek dan merendahkan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS al Hujurat/49:11).

Begitu juga, hendaknya orang tua memperhatikan dan mengarahkan anak-anak kepada hal-hal yang bermanfaat, dan bukan pada hal-hal yang merusak. (Fiqh Tarbiyatil al Abna’ wa Thaifatu min-Nashaih ath-Thiba’, hlm. 145)

Keempat. Rumah sebagai tempat berdzikir dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي يُذْكَرُ اللَّهُ فِيهِ وَالْبَيْتِ الَّذِي لَا يُذْكَرُ اللَّهُ فِيهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

Perumpamaan rumah yang disebutkan nama Allah di dalamnya dan yang tidak, adalah sebagaimana orang yang hidup dan mati. (HR. Muslim, 779).

Betapa banyak rumah-rumah kaum Muslimin yang sepi dari dzikrullah, bahkan lebih dipenuhi dengan berbagai macam perkara yang mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti musik, gambar-gambar makhluk bernyawa, dan berbagai macam bentuk maksiat. Sedangkan rumah-rumah yang di dalamnya selalu diramaikan dengan aktifitas ibadah, adalah rumah yang selalu dikelilingi para malaikat dan membuat setan lari darinya, sebagaimana disebutkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits:
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan surat al Baqarah. (HR. Muslim).

Juga dalam hadits yang lain, beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيبًا مِنْ صَلَاتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلَاتِهِ خَيْرًا

Jika salah seorang di antara kalian telah selesai dari shalat di masjidnya, maka hendaklah memberikan bagian shalatnya di rumahnya. Sesungguhnya Allah memberikan kebaikan di rumahnya dari sebab shalatnya. (HR. Muslim, 778).

Imam an Nawawi berkata: “Jumhur ulama berpendapat, shalat itu adalah shalat sunnah (yang dikerjakan di rumah) dalam rangka menyembunyikannya (dari pandangan manusia). Juga karena hadits lainnya: ‘sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat yang wajib’, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan shalat di rumah, karena lebih tersembunyi (dari pandangan manusia), lebih jauh dari sifat riya’, dan lebih terjaga dari perkara-perkara yang menyebabkan terhapusnya suatu amalan. Juga untuk mendatangkan barakah bagi rumah tersebut, demikian juga turunnya malaikat dan larinya setan darinya”.

Akhirnya kami mengajak kaum Muslimin agar menjadikan rumah-rumah mereka, sebagai rumah yang dipenuhi dengan ruku’, sujud, tilawat, menunaikan hak-hak Allah Subhanahu mengikuti adab-adab Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, menunaikan hak-hak sesama dan menjauhkan segala perkara-perkara yang mendatangkan kemurkaan dan adzab-Nya. Sehingga rumah-rumah kaum Muslimin pun merupakan surga mereka di dunia sebelum meraih surga di akhirat kelak. (Ustadz Abu Saad Muhammad Nur Huda)

Majalah Assunnah, Edisi 02/Tahun XI/1428H/2007M

Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam Tak Segan Membantu Istri
Selasa, 08 Mei 07
Kerendahan hati tidak lepas dari perangai Nabi Muhammad shollallahu ’alaihi wa sallam. Kedudukan beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam yang tinggi tidak menghalangi untuk berbaur dengan istri-istrinya dalam menuntaskan pekerjaan rumah tangga secara bersama-sama.

Seorang muslim yang muwaffaq (mendapatkan taufiq) seharusnya memiliki antusiasme untuk mengetahui kesibukan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, manakala beliau berada di dalam rumah bersama istri-istrinya. Agar usahanya dalam mengikuti jejak Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam semakin baik. Sebagaimana semangat al Aswad bin Yazid bin Qais, seorang dari kalangan muhadram (orang yang beriman di masa Rasulullah masih hidup, akan tetapi belum sempat berjumpa dengan beliau), yang secara khusus menanyakan perihal tersebut kepada Ummul Mukminin, Aisyah radhiallahu ‘anha.

Pasalnya, ada banyak masalah yang tidak terjangkau oleh umum. Tidak ada jalan untuk mengetahuinya selain melontarkan pertanyaan langsung kepada orang-orang terdekat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini, para istri Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari al Aswad, ia berkata:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي بَيْتِهِ قَالَتْ كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

Aku bertanya (kepada) ‘Aisyah radhiallahu ‘anha: “Apakah yang dikerjakan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersama istri-istrinya?” Dia radhiallahu ‘anha menjawab, “Beliau berada dalam pekerjaan istri-istrinya (yakni membantu membantu mereka). Jika (waktu) shalat telah tiba, beliau keluar (rumah) menuju shalat”. (HR. Bukhari, Kitab al Adab, 40)

Dalam riwayat lain dari ‘Urwah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menguraikan, bahwa di dalam rumah, Rasulullah melakukan :
كَمَا يَصْنَعُ أَحَدُكُمْ يَخْصِفُ النّعْلَ وَيُرَقّعُ ثَوْبَهُ وَيَخِيْطُ

Sebagaimana yang diperbuat oleh salah seorang dari kalian memperbaiki sandalnya, menambal bajunya dan menjahit.

Dalam riwayat yang berbeda: ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata :
كَانَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ: يَفْلَى ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شَاتَهُ

Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam seperti manusia kebanyakan; memeriksa bajunya dan memerah (susu) kambing.

Al-Hafih Ibnu Hajar rahimahullahu mengutip keterangan Ibnu Bathal yang menyimpulkan kandungan hadits di atas (hadits pertama), dengan berkata: “Di antara budi pekerti para nabi, (yaitu) tawadhu’ dan jauh dari gaya hidup mewah, serta menyederhanakan gaya hidupnya agar diteladani (umat). Dan supaya mereka tidak hanyut dalam kehidupan mewah yang tercela”. (Lihat al Fath, 10/461).

Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mengalahkan orang-orang dalam hal papan, sandang dan kendaraan, serta segala sesuatu, hendaknya mengambil ibrah dari sirah (perjalanan hidup) Nabi di atas.

Diadaptasi dari Syarh Shahihi-Adabil-Mufrad, Takhrij Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani hadits no. 418, 419, 420, karya Husain bin ‘Audah al ‘Awayisyah. Cetakan I/1423H, al-Maktabah al Islamiyah.

Assunnah, Baituna Edisi 2/Tahun XI/1428H/2007M

Wibawa Orangtua di Mata Anaknya
Rabu, 04 April 07

Kasih sayang orangtua memang kebutuhan mutlak bagi anak, tetapi bukan berarti ketika mereka bersalah dibiarkan saja, atau dibela tanpa melihat tingkat kesalahannya, atau kenapa dia salah.

Di sisi lain, sering terjadi perselisihan antara orang tua mengakibatkan anak tidak menghargai salah satu atau kedua orang tuanya. Suatu misal, seorang ibu yang sedang marah kepada anaknya karena bersalah, lalu datang sang ayah membela anaknya dengan serta merta memaki-maki atau mungkin memukul sang ibu di hadapan anaknya. Sebaliknya ada seorang ayah memerintah sang ibu suatu hal, lalu sang ibu membantah di hadapan anak-anaknya.

Dua fenomena di atas bisa menyebabkan nasehat kedua orang tua atau salah satunya diabaikan sang anak, wibawa mereka hilang begitu saja, lantaran anak sering menyaksikan salah satu dari keduanya melakukan tindakan yang tidak selayaknya mereka lakukan sehingga anak menganggap itu adalah suatu kebodohan, tidak perlu ditaati, dan perkataan yang sia-sia. Pada akhirnya, anak-anak tumbuh dengan sekehendak mereka, sulit diatur, dan tidak menuruti kata-kata orangtua, bahkan berani melawan mereka, dan sungguh kebanyakan anak-anak yang bermasalah adalah anak-anak yang tumbuh dari rumah tangga yang dipenuhi pertengkaran antara kedua orangtuanya dan jauh dari bimbingan Sunnah Nabawiyah.

Bagaimana menjaga wibawa orang tua?

1. Mengajari anak bahwa Alloh mewajibkan birrul walidain


Apabila anak sudah dapat menangkap dan memahami pembicaraan, sudah selayaknya orangtua mengajarkan kepada anaknya bahwa Alloh dan Rosul-Nya mewajibkan setiap anak untuk menaati orangtuanya dalam perkara yang bukan kemaksiatan. Maka ibu selalu mengingatkan bahwa anak harus mendengar dan taat kepada ayahnya, sebaliknya ayah selalu mengingatkan bahwa anak harus selalu mendengar dan taat kepada ibunya.

Sudah saatnya diperdengarkan kepada mereka ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hal ini, seperti firmannya:

Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia/baik. (QS. Al-Isro: 23)

Ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orangtua sangat banyak, dan semua itu menunjukkan betapa agung kedudukan dan hak orangtua terhadap anaknya.
Secara umum anak berkewajiban untuk birrul walidain (berbakti kepada kedua orangtuanya). Akan tetapi, sang ibu lebih diutamakan dari sang ayah, sebagaimana dalam sebuah hadits:

Artinya: “Dari Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rosulullah, siapakah yang berhak aku pergauli dengan baik?” Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “ibumu.” Lalu dia bertanya lagi: “Kemudian siapa lagi?” Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ibumu.” Lalu dia bertanya lagi: “Kemudian siapa lagi?” Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam: “(Kemudian baru) bapakmu!” (HR. Bukhori 10/401, dan Muslim 5/410).

Imam Nawawi rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini terkandung hikmah anjuran supaya berbakti kepada kedua orangtua. Adapun sang ibu, maka beliau lebih berhak (dari sang ayah), baru kemudian sang ayah, setelah itu orang yang dekat (setelah keduanya), dan demikian seterusnya. Para ulama berkata memberi alasan mengapa sang ibu lebih berhak daripada sang ayah, sebabnya adalah sang ibu lebih berat/capai mengurus anaknya; buktinya dialah yang berlemah lembut, melayani, menanggung susah payah ketika mengandung, melahirkan menyusui, mendidik, merawat anaknya ketika sedang sakit, dan lain sebagainya,” Semua itu tidak dilakukan oleh sang ayah.

2. Mengajari anak bahwa yang paling berjasa setelah Alloh dan Rosul-Nya adalah orangtua

Kedua orantualah yang menjadi sebab anak-anaknya berbahagia. Kedua orangtua lebih merasakan pahit dan susahnya mengasuh anak-anaknya sejak dilahirkan. Mereka rela tidak tidur demi menjaga anaknya terutama ketika sedang sakit. Mereka tidak akan puas sampai anak-anaknya bahagia. Mereka rela memberikan apa yang mereka miliki untuk kebahagiaan anaknya, dan kebaikan mereka pun tidak putus-putus walaupun sang anak sudah menginjak usia dewasa atau bahkan ketika sudah berkeluarga, orang masih merasa sedih dan berusaha menolong apabila anaknya mendapatkan kesusahan. Oleh karenanya, anak tidak mungkin dapat membalas semua jasa kebaikan yang tak terhingga walaupun dia memberikan semua harta dan kekayaannya kepada kedua orangtuanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’az bin Jabal radhiallahu ‘anhu ketika ditanya hak orangtua terhadap anaknya, beliau menjawab:
لَوْ خَرَجْتَ مِنْ أَهْلِكَ وَمَالِكَ مَا أَدّيْتَ حَقّهُمَا

“Seandainya engkau berikan seluruh keluarga dan hartamu, engkau masih belum menunaikan hak kedua orangtuamu.” (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam kitab al Waro’ hal. 105-106).

Sudah menjadi keharusan bagi setiap anak untuk berbakti kepada kedua orangtua dengan ucapan atau perbuatan, baik dengan harta atau jiwa dan raganya dengan melayani dan menuruti perkataannya selama bukan satu kemaksiatan. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kewajiban birrul walidain di atas jihad fi sabilillah sebagaimana dalam sebuah hadits:
عَنْ اِبْنِ مَسْعُوْدٍ  قَالَ يَارَسُوْلَ الله أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَُلْتَُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَُلْتَُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ


Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Aku berkata: “Wahai Rasulullah, amalan apa yang paling dicintai oleh Alloh? Beliau menjawab: “Sholat pada waktunya.” Aku berkata: “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orangtua.” Aku berkata: “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah.” (HR. Bukhori I/143 dan Muslim I/63).

3. Menghindari perselisihan di hadapan anak


Orangtua yang bijaksana selalu berusaha menyembunyikan perselisihan yang terjadi antara keduanya dari hadapan anak-anaknya.
Seorang suami yang bijaksana tidak menghinakan isterinya di hadapan anak-anaknya, apabila hendak menasehati, maka dengan cara yang baik dan tidak sampai menjatuhkan martabat dan wibawanya di mata anak-anaknya, bukan dengan membentak, mencaci, atau bahkan memukul sang istri di hadapan mereka, sehingga mereka tetap menaruh rasa hormat dan wibawa kepada sang ibu.

Anak yang sering melihat ibunya dimurkai atau bahkan dipukul oleh ayahnya hanya karena masalah sepele, akhirnya membenci sang ayah, karena mereka menganggap ayahnya seorang yang suka menzholimi ibunya: atau kalau tidak demikian, mereka menganggap ibunya bodoh dna akhirnya mereka ingin meniru ayahnya dan berani melawan ibunya, sehingga anak tidak lagi menurut kata-kata ibunya apalagi menerima nasehat-nasehatnya, bahkan tidak heran kalau ada anak kecil sudah berani memukul ibunya sendiri, terutama kalau sang ayah tidak di rumah karena anak hanya takut kepada ayahnya saja.

Seorang isteri yang bijaksana tidak akan membantah perkataan atau perintah sang suami di hadapan anak-anaknya. Apabila istri sering membantah suaminya di hadapan anak-anaknya, akibatnya anak yang sering menyaksikan hal ini menganggap ayahnya bodoh dan tidak perlu ditaati kata-katanya, sehingga hilanglah wibawa sang ayah di mata anaknya. Seorang istri harus mengerti bahwa Islam telah menetapkan ketaatan istri kepada suaminya, seperti dalam hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا


Dari Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seadainya aku (boleh) memerintah seseorang sujud kepada seorang yang lain, maka aku perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi I/217, Ibnu Hibban: 1291, Baihaqi 7/291, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil no. 1998).

4. Orangtua tidak menyelisihi ucapannya.

Sering terdengar keluhan orangtua tentang anak-anaknya yang tidak mau menuruti perkataannya, bahkan di antara mereka ada yang berani membantah ucapan orangtuanya. Hal ini bisa terjadi lantaran beberapa sebab, di antaranya: orangtua tidak menyadari bahwa anaknya menyaksikan ayah atau ibunya melarang atau memerintahkan suatu hal tetapi dialah yang pertama kali menyelisihinya, ini mengakibatkan anak tidak percaya dengan larangan atau perintah orangtua, atau mereka menganggap bahwa perintah atau larangannya tidak harus dilaksanakan.

Suatu contoh, seorang ayah melarang keras anaknya berbohong, tetapi ketika ada tamu datang mencari ayahnya, ia berkata kepada anaknya dengan berbisik: “Bilang ayah tidak di rumah”, atau “Ayah sedang sakit.”

Contoh lain, seorang ayah yang melarang keras anaknya atau mengancam dengan berbagai hukuman apabila merokok dan memberi alasan bahwa rokok itu tidak baik dan sangat berbahaya, tetapi dirinya tidak henti-hentinya merokok di hadapan anaknya.

Dua contoh di atas menghilangkan kepercayaan anak terhadap kata-kata orang tua, yang pada akhirnya hilang wibawa mereka di mata anaknya.

Penulis: Ustadz Abu Ibrahim Muhammad Ali
Majalah Al-Furqon: Edisi 08 Tahun VI/ Robi’ul Awal 1428 (April 2008)

KECEMBURUAN LAKI-LAKI
Jumat, 23 Maret 07

Di antara salah satu adab pergaulan antara suami-isteri, yaitu seorang suami seharusnya bersikap pertengahan dalam hal kecemburuan kepada isteri, sehingga tidak terlalu berlebih-lebihan, atau sebaliknya menganggap remeh sikap cemburu. Hendaknya ia melakukan tindakan preventif, jangan bersikap lengah terhadap hal-hal perlu dikhawatirkan bahayanya. Tetap menjaga isterinya, namun dalam batas-batas yang telah digariskan syari’at. Hal seperti ini dan semisalnya, termasuk jenis cemburu yang terpuji. Adapun sikap cemburu suami yang berlebih-lebihan serta prasangka yang tidak dilandasi bukti dan akal sehat, dan juga selalu mengontrol dan mengawasi isteri dalam segala perbuatannya, maka ini termasuk perbuatan yang tercela lagi diharamkan.

Allah berfirman,
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS. Al Hujurat/49: 12).

Nabi  juga melarang para suami mencari-cari kesalahan isteri. Sebagaimana beliau  tegaskan dalam hadits: “Ada jenis cemburu yang Allah membencinya. Yaitu kecemburuan suami kepada isteri yang tidak disertai adanya indikasi kuat yang mendukungnya”. (HR. Al Bazzar dan Ath-Thabrani).

Barangsiapa mengabaikan sifat cemburu yang bisa lebih menguatkan hubungan cinta di antara suami isteri, maka ia hidup dengan hati yang rusak dan melenceng dari fitrahnya. Dijelaskan oleh Nabi  : “Sesungguhnya Allah tida melihat kepada ad-dayuts pada hari kiamat, dan tidak akan memasukkannya ke dalam surga”. (HR. Ahmad 2/169, 134)

Dayyuts adalah, seorang suami yang tidak memiliki sifat cemburu dan membiarkan isterinya berbuat maksiat. Dan sebaliknya, suami yang terlalu berlebihan rasa cemburunya akan hidup sengsara dan tersiksa, bahkan jarang seorang isteri yang mampu hidup lama dengannya, karena selalu merasa diawasi dan merasa tertekan.

Sikap yang wajar dalam masalah ini akan membawa dampak positif, terpeliharanya harga diri, kehormatan dan tercapainya kehidupan yang berbahagia. Sikap pertengahan dalam menyikapi rasa cemburu, artinya ia menjauh dari berprasangka buruk, tidak mencari-cari satu perkara secara mendetail bila tidak perlu, menghindari sikap tergesa dalam menerima berita yang sengaja dihembuskan oleh orang yang mempunyai niat buruk-tanpa menyaringnya, berhati-hati terhadap perkara yang dikhawatirkan membahayakan, dan menjaga diri dari perilaku yang merusak. Jika hal itu dapat dipenuhi, maka itulah keutamaan yang sebenarnya. Sebaliknya, apabila tidak, maka akan membawa malapetaka bagi kehidupan rumah tangga.

Terkadang ada di antara para suami yang terjangkiti sifat cemburu buta. Dia merasa cemburu (pada isterinya) dari semua orang, sehingga isteri dilarang mengunjungi atau dikunjungi, meski kunjungan dari orang-orang mulia dan terhormat. Suami tidak bisa menerima, jika pintu rumahnya terbuka. Dia tidak merasa nyaman jika ada seseorang mengunjungi isterinya, tanpa sepengetahuannya. Atau saat ia tidak berada di rumah. Jika ia berangkat kerja, seluruh pintu ditutup, kunci-kunci dibawanya, dan setelah pulang seluruh kamar dikelilingi dan diamati. Sampai-sampai bila orang tua atau mahram dari isterinya datang berkunjung, maka harus menunggu di luar rumah sampai suami yang pencemburu itu tiba. Sungguh ini bisa menjadikan si isteri dan kerabatnya merasa tersinggung dan marah karena merasa tidak dihargai.

Kepada suami yang memiliki sifat demikian, rasanya lebih adil dan tepat jika dikatakan kepadanya: “Yang engkau lakukan itu, bukan termasuk cemburu yang benar menurut agama. Juga bukan kecemburuan seorang yang benar disebut laki-laki. Itu tidak lebih sekedar kekhawatiran yang berlebihan, sehingga dengannya engkau telah membelenggu isterimu dari hak syar’inya. Dalam keadaan demikian, isterimu seperti bukan makhluk hidup padahal bukan pula benda mati. Engkau telah memadamkan cahaya kemuliaan dan kehormatannya. Nama baiknya akan menjadi pembicaraan di tengah publik. Sekiranya engkau termasuk orang muslim yang benar, yang berpegang pada akhlak dan etika Islam, tentu engkau akan melaksanakan firman Allah  yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS. Al Hujurat/49: 12).

Sebaliknya, ada seorang suami yang terpesona dengan peradaban modern dan kemewahan duniawi. Maka diajaklah isterinya pergi ke tempat-tempat hiburan, diberikanlah kebebasan kepada isterinya untuk berkenalan dengan orang lain, yang baik maupun yang buruk akhlaknya. Hingga akhirnya si isteri pun melakukan hal-hal yang dilarang agama. Ternyata kemudian, si suami merasa cemburu. Sesampai di rumah, dihitunglah kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat isterinya, hingga terjadilah perselisihan di antara mereka. Namun suami ini tetap lalai dan belum menyadari kecemburuannya. Dia selalu saja membuka pintu rumahnya bagi siapapun, kawan-kawan atau koleganya. Dia tidak merasa berdosa jika mereka datang saat ia tidak ada, Hingga akhirnya, jika telah ada berita buruk tentang kehormatan isterinya, dia baru menyadari kelengahannya, cemburu lagi, marah besar dan naik pitam.

Wahai, para suami yang lalai! Kecemburuanmu tak lagi bermanfaat setelah semua petaka itu terjadi.
Kecemburuanmu adalah kecemburuan yang dibenci, yang tidak membuahkan apa-apa selain kehancuran mahligai rumah tanggamu. Maka tinggalkanlah kecemburuanmu yang palsu itu. Gantilah dengan kecemburuan yang dibenarkan agama, yakni kecemburuan yang bijak dan tidak membabi buta, itulah kecemburuan yang dicintai Allah, yang tidak mungkin menjadi sebab timbulnya hal-hal negatif di kalangan orang-orang baik dan terhormat.

Dengan hidayah Allah  dan di atas nilai-nilai yang utama inilah, kebahagiaan hidup bagi seluruh lapisan masyarakat bisa tercapai. Wallahu a’lam (Abu Saad).

Majalah assunnah edisi 11/Tahun X/1428H/2007 M

MENGENDALIKAN RASA CEMBURU DALAM RUMAH TANGGA
Kamis, 15 Maret 07
Perasaan cemburu adalah ketidaksukaan bergabungnya orang lain pada haknya.Sesungguhnya perasaan cemburu adalah tabiat yang alami. Merupakan fitrah yang tercipta pada diri setiap manusia, sesuai dengan tabiat manusiawi yang dipupuk dengan nilai-nilai keimanan. Ia berfungsi sebagai penjaga kemuliaan dan kehormatan manusia. Akan tetapi, perasaan cemburu tersebut haruslah sesuai dengan aturan agama yang mengutamakan kesabaran, ilmu, keadilan, kebijaksanaan, kejujuran, ketenangan dan kelembutan dalam semua perkara.

Menurut ‘Abdullah bin Syaddad, ada dua jenis ghirah. Pertama, ghirah yang dengannya seseorang dapat memperbaiki keadaan keluarga. Kedua, ghirah yang dapat menyebabkannya masuk neraka. Ditinjau dari nilainya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, cemburu ada dua macam. Dalam sebuah hadits disebutkan : bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ada jenis cemburu yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, adapula yang dibeni-Nya. Yang disukai, yaitu cemburu tatkala ada keraguan, sedangkan yang dibenci, yaitu adalah yang tidak dilandasi keraguan.”

Disebutkan di dalam hadits,

“Saad bin Ubadah radhiallahu ‘anhu berkata, Sekiranya aku melihat seorang laki-laki bersama dengan isteriku, niscaya akan kutebas ia dengan pedang,” ucapan itu akhirnya sampai kepada Rasulullah. Lalu beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian merasa heran terhadap kecemburuan Saad? Demi Allah, aku lebih cemburu daripadanya, dan Allah lebih cemburu daripadaku.”

Ditinjau dari sisi yang lain, cemburu ada dua macam. Pertama, ghirah lil mahbub (cemburu membela orang yang dicintai). Kedua, ghirah ‘alal mahbub (cemburu membela agar jangan sampai ada orang lain yang juga mencintai orang yang dicintainya.

Ghirah lil mahbub adalah pembelaan seseorang terhadap orang yang dicintai, disertai dengan emosi demi membelanya, ketika hak dan kehormatan orang yang dicintai diabaikan atau dihinakan. Dengan adanya penghinaan tersebut, ia marah demi yang dicintainya, kemudian membelanya dan berusaha melawan orang yang menghina tadi. Inilah cemburu sang pencinta yang sebenarnya. Dan ini pula ghirah para Rasul ‘alaihi salam dan pengikutnya terhadap orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jenis ghirah inilah yang semestinya dimiliki seorang muslim, untuk membela Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul shollallahu ‘alaihi wa sallam dan agama-Nya. Adapun ghirah ‘alal mahbub adalah kecemburuan terhadap orang lain yang ikut mencintai orang yang dicintainya. Jenis ghirah inilah yang hendak kita kupas pada pembahasan ini.

BEBERAPA CONTOH KECEMBURUAN
SEBAGIAN ISTERI NABI SHOLLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM


Disebutkan dalam sebuah riwayat, Anas radhiallahu ‘anhu berkata:

“Suatu ketika Nabi di rumah salah seorang isteri beliau. Tiba-tiba isteri yang lain mengirim mangkuk berisi makanan. Melihat itu, isteri yang rumahnya kedatangan Rasul memukul tangan pelayan pembawa makanan tersebut, maka jatuhlah mangkuk tersebut dan pecah. Kemudian Rasul mengumpulkan kepingan-kepingan pecahan tersebut serta makanannya, sambil berkata: “Ibu kalian sedang cemburu,” lalu Nabi menahan pelayan tersebut, kemudian beliau memberikan padanya mangkuk milik isteri yang sedang bersama beliau untuk diberikan kepada pemilik mangkuk yang pecah. Mangkuk yang pecah beliau simpan di rumah isteri yang sedang bersama beliau.”

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa isteri Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam yang memecahkan mangkuk adalah ‘Aisyah Ummul Mukminin, sedangkan yang mengirim makanan adalah Zainab binti Jahsy.”

Dalam hadits yang lain diriwayatkan:

“Dari Aisyah: “Aku tidak cemburu kepada seorang wanita terhadap Rasulullah sebesar cemburuku kepada Khadijah, sebab beliau selalu menyebut namanya dan memujinya.”

Dalam sebuah riwayat disebutkan, ‘Aisyah berkata: “Tatkala pada suatu malam yang Nabi berada di sampingku, beliau mengira aku sudah tidur, maka beliau keluar. Lalu aku (pun) pergi mengikutinya. (Aku menduga beliau pergi ke salah satu isterinya dan aku mengikutinya sehingga beliau sampai di baqi’). Beliau belok, aku pun belok. Beliau berjalan cepat, akhirnya aku mendahuluinya. Lalu beliau bersabda: “Kenapa kamu, hai Aisyah, dadamu berdetak kencang?” Lalu aku mengabarkan kepada beliau kejadian yang sesungguhnya, beliau bersabda: “Apakah kamu mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menzhalimimu?”.

NASIHAT BAGI WANITA DALAM MENGENDALIKAN PERASAAN CEMBURU

Sebagaimana fenomena yang kita lihat dalam kehidupan tangga pada umumnya, tampaklah bahwa sifat cemburu itu sudah menjadi tabiat setiap wanita, siapapun orangnya dan bagaimanapun kedudukannya. Akan tetapi, hendaklah perasaan cemburu ini dapat dikendalikan sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan masalah yang bisa menghancurkan kehidupan rumah tangga.

Berikut beberapa nasihat yang perlu diperhatikan oleh para isteri untuk menjaga keharmonisan kehidupan rumah tangga, sehingga tidak ternodai oleh pengaruh perasaan cemburu yang berlebihan.

§  Seorang isteri hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersikap pertengahan dalam hal cemburu terhadap suami. Sikap pertengahan dalam setiap perkara merupakan bagian dari kesempurnaan agama dan akal seseorang. Dikatakan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha: “Hai ‘Aisyah, bersikaplah lemah-lembut, sebab jika Allah menginginkan kebaikan pada sebuah keluarga, maka Dia menurunkan sifat kasih-Nya di tengah-tengah keluarga tersebut.” Dan sepatutnya seorang isteri meringankan rasa cemburu kepada suami, sebab bila rasa cemburu tersebut melampaui batas, bisa berubah menjadi tuduhan tanpa dasar, serta dapat menyulut api di hatinya yang mungkin tidak akan pernah padam, bahkan akan menimbulkan perselisihan di antara suami dan melukai hati sang suami. Sedangkan isteri akan terus hanyut mengikuti hawa nafsunya.
§  Wanita pencemburu, lebih melihat permasalahan dengan perasaan hatinya daripada indera matanya. Ia lebih berbicara dengan nafsu emosinya dari pada pertimbangan akal sehatnya. Sehingga sesuatu masalah menjadi berbalik dari yang sebenarnya. Hendaklah hal ini disadari oleh kaum wanita, agar mereka tidak berlebihan mengikuti perasaan, namun juga mempergunakan akal sehat dalam melihat suatu permasalahan.
§  Dari kisah-kisah kecemburuan sebagian isteri Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, bisa diambil pelajaran berharga, bahwa sepatutnya seorang wanita yang sedang dilanda cemburu agar menahan dirinya, sehingga perasaan cemburu tersebut tidak mendorongnya melakukan pelanggaran syari’at, berbuat zhalim, ataupun mengambil sesuatu yang bukan haknya. Maka janganlah mengikuti perasaan secara membabi buta.
§  Seorang isteri yang bijaksana, ia tidak akan menyulut api cemburu suaminya. Misalnya, dengan memuji laki-laki lain di hadapannya atau menampakkan kekaguman terhadap laki-laki lain di hadapannya atau menampakkan kekagumman terhadap laki-laki lain, baik pakaiannya, gaya bicaranya, kekuatan fisiknya dan kecerdasannya. Bahkan sangat menyakitkan hati suami, jika seorang isteri membicarakan tentang suami pertamanya atau sebelumnya. Rata-rata laki-laki tidak menyukai itu semua. Karena tanpa disadarinya, pujian tersebut bermuatan merendahkan “kejantanan”nya, serta mengurangi nilai kelaki-lakiannya, meski tujuan penyebutan itu semua adalah baik. Bahkan, walaupun suami bersumpah tidak terpengaruh oleh ungkapannya tersebut, tetapi seorang isteri jangan melakukannya. Sebab, seorang suami berat melupakan itu semua.
§  Ketahuilah wahai para isteri! Bahwa yang menjadi keinginan laki-laki di lubuk hatinya adalah jangan sampai ada orang lain dalam hati dan jiwamu. Tanamlah dalam dirimu bahwa tidak ada lelaki yang terbaik, termulia, dan lainnya selain dia.
§  Wahai para isteri! Jadikanlah perasaan cemburu kepada suami sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepadanya. Jangan menjadikan ia menoleh kepada wanita lain yang lebih cantik darimu. Berhias dirilah, jaga penampilan di hadapannya agar engkau selalu dicintai dan disayanginya. Cintailah sepenuh hatimu, sehingga suami tidak membutuhkan cinta selain darimu. Bahagiakan ia dengan seluruh jiwa, perasaan dan daya tarikmu, sehingga suami tidak mau berpisah atau menjauh darimu. Berikan padanya kesempatan istirahat yang cukup. Perdengarkan di telinganya sebaik-baik perkataan yang engkau miliki dan yang paling ia senangi.
§  Wahai, para isteri! Janganlah engkau mencela kecuali pada dirimu sendiri, bila saat suamimu datang wajahnya dalam keadaan bermuram durja. Jangan menuduh –salah-kecuali pada dirimu sendiri, bila suamimu lebih memilih melihat orang lain dan memalingkan wajah darimu. Dan jangan pula mengeluh bila engkau mendapatkan suamimu lebih suka di luar daripada duduk di dekatmu. Tanyakan kepada dirimu, mana perhatianmu kepadanya? Mana kesibukanmu untuknya? Dan mana pilihan kata-kata manis yang engkau persembahkan kepadanya, serta senyum memikat dan penampilan menawan yang semestinya engkau berikan kepadanya? Sungguh engkau telah berubah di hadapannya, sehingga berubah pula sikapnya kepadamu, lebih dari itu, engkau melemparkan tuduhan terhadapnya karena cemburu butamu.
§  Dan ingatlah wahai para isteri! Suamimu tidak mencari perempuan selain dirimu. Dia mencintaimu, bekerja untukmu, hidup senantiasa bersamamu, bukan dengan yang lainnya. Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ikutilah petunjuk-Nya dan percayalah sepenuhnya kepada suamimu setelah percaya kepada Allah yang senantiasa menjaga hamba-hamba-Nya yang selalu menjaga perintah-perintah-Nya, lalu tunaikanlah yang menjadi kewajibanmu. Jauhilah perasaan was-was, karena setan selalu berusaha untuk merusak dan mengotori hatimu.


TIDAK BOLEHKAH CEMBURU?

Barangkali, di antara para isteri ada yang membantah dan berkata, adalah kebodohan apabila seorang isteri tidak memiliki rasa cemburu pada suaminya, padahal cemburu ini merupakan ungkapan cintanya kepada suaminya, sekaligus sebagai bumbu penyedap yang bisa menimbulkan keharmonisan, kemesraan dan kepuasan batin dalam kehidupan rumah tangga.

Ya benar! Akan tetapi, apakah pantas seorang isteri yang berakal sehat, jika ia tenggelam dalam rasa cemburunya, sehingga menenggelamkan bahtera kehidupan rumah tangganya, mencabik-cabik jalinan cinta dan kasih sayang dalam keluarganya, bahkan ia sampai terjangkiti penyakit psikis yang kronis, perang batin yang tidak berkesudahan, dan akhirnya merusak akal sehatnya?

Memang sangat tipis, perbedaan antara yang benar dengan yang salah, antara yang sakit dengan yang sehat, antara cemburu yang penuh dengan kemesraan dengan cemburu yang membakar dan menyakitkan hati dikarenakan penyakit kejiwaan yang berat. Namun, tetap ada perbedaan antara cemburu dalam rangka membela kehormatan diri dan kelembutan karena didasari rasa cinta kepada suami, dengan cemburu yang merusak dan membinasakan. Kalau begitu, cemburulah wahai para isteri, dengan kecemburuan yang membahagiakan suamimu, dan menampakkan ketulusan cintamu kepadanya! Tetapi hindarilah kecemburuan yang merusak dan menghancurkan keluargamu. Cemburulah demi memelihara harga diri dan kehormatan suami. Dan lebih utama lagi, cemburu untuk membela agama Allah.

Isteri yang selalu memantau kegiatan suaminya, mencari-cari berita tentangnya, serta selalu menaruh curiga pada setiap aktivitas suaminya, bahkan cemburu kepada teman dan sahabatnya, maka inilah isteri yang bodoh. Dengan sifatnya tersebut, maka kehidupan rumah tangganya, rasa cinta, kepercayaan di antara keduanya akan terputus dan hancur. Dan bagi wanita yang rasa cemburunya tersulut karena suatu sebab, kemudian ia merasa hal itu tidak pada tempatnya, hendaklah ia menyadari kesalahannya, lalu melakukan perbaikan atas sikapnya tersebut. Dan yang paling penting adalah, tidak mengulangi lagi kesalahan serupa di kemudian hari.
Majalah Assunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007 M

Kewajiban mengarahkan keluarga dan anak-anak untuk taat
Kamis, 11 Januari 07
Menjadi kewajiban seorang hamba mukmin untuk memerintahkan isteri dana anak-anaknya, serta seluruh yang berada di bawah pertanggunjawabannya, berupa budak lelaki dan perempuan, agar mereka melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, memberikan pembinaan dan pendidikan mereka, serta melarang mereka dari perbuatan yang tidak patut. Dalam melaksanakan aturan agama Allah ini, rasa kasih sayangnya tidak menahannya, dan cacian tidak menghalanginya.

Artinya: “Dan perintahkan kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya, kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”. (QS. Thaha/20 : 132)

(Dalam ayat ini), Allah memerintahkan para hambaNya yang beriman untuk menyelamatkan keluarga mereka dari siksa Allah melalui (perintah kepada mereka) untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah dan bersabar dalam menjalankannya.

Allah berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bau; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dn selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim/66 : 6).

Kewajiban seorang muslim, untuk mengajarkan kepada keluarganya, seperti isterinya, anak-anaknya, kaum kerabatnya, budak sahaya lelaki dan perempuan, mengenai kewajiban dan larangan Allah atas mereka, Supaya mereka menjalankan ketaatan kepada Allah dan menjauhi maksiat-maksiat kepadanya, sehingga selamat dari neraka.

(Bahjatun Nazhirin, 1/380, Darul Ibni; Jauzi, Cet. VII Th. 1415)

Sumber Baituna Edisi 10/Tahun X/1427/2006M

Hit : 1013
PERLOMBAAN ANTARA SUAMI ISTRI
Minggu, 07 Januari 07
Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha berkata,
“Saya pernah ikut bersama Rasulullah Shollallahu ‘alahi wa sallam dalam sebagian perjalanan beliau. Saat itu, saya masih muda dan belum gemuk.

Suatu saat, Rasulullah Shollallahu ‘alahi wa sallam berkata kepada para shahabatnya, ‘Majulah kalian semua.’

Kemudian para shahabat pun maju (mendahului Rasulullah Shollallahu ‘alahi wa sallam). Kemudian beliau berkata kepadaku, “Hai Aisyah, kemarilah, mari kita berlomba (adu cepat).”

Maka akupun berlomba dengan beliu sampai akhirnya saya dapat memenangkan perlombaan tersebut. Sampai akhirnya tanpa sadar, saya mulai tumbuh gemuk dan lamban.

Dan pada suatu hari, saya ikut bersama Rasullullah Shollallahu ‘alahi wa sallam lagi dalam suatu perjalanan yang diadakan oleh beliau. Ketika itu, beliau berkata kepada para shahabatnya, ‘Majulah kalian semua terlebih dahulu.’

Maka, mereka pun mendahului Rasulullah ‘alahi wa sallam. Kemudian beliau berkata kepadaku, ‘Wahai Aisyah, kemarilah! Ayo kita berlomba (adu cepat) sampai saya dapat mendahului kamu.’

Kemudian aku berlomba dengan beliau dan ternyata beliau dapat mendahului saya. Setelah itu beliaupun tertawa sambil mengatakan,

‘Nah, ini sebagai balasan dari (kekalahanku) sebelumnya.’

BAGAIMANA ENGKAU MENJADI PENDAMPING SUAMIMU?
Kamis, 30 Nopember 06

Seorang laki-laki lebih cenderung menggunakan akalnya di dalam mengatur urusan keluarga. Adapun seorang istri lebih cenderung menggunakan perasaannya di dalam mengatur semua permasalahannya, termasuk mengatur masalah urusan rumah tangga. Istri yang mecintai suaminya dan yang subur keturunannya, maka itulah istri yang didambakan, karena rasa cinta, kasih sayang yang ada pada diri seorang istri dalam mengelola rumah tangga adalah salah satu bentuk rahmat yang nantinya akan dapat mengarahkan anak ke jenjang yang lebih baik. Dan adanya anak di suatu rumah itu tidak lain adalah benar-benar sebagai penobatan hubungan yang mulia yang mengikat antara suami dan istri.

Sesungguhnya keberadaan seorang anak pada setiap tahapan dari beberapa tahapan yang dijalani suami istri adalah sebagai penguat unsur-unsur yang mengikat di antara keduanya (suami istri) dan sebagai pembaharu ikatan yang merajut antara mereka berdua.

Dan setiap kali bertambahnya rasa cinta dan penghormatan di antara mereka berdua, maka hubungan tersebut akan semakin bertambah (kuat) sehingga menjadi pasangan yang sejati.

Sehingga akhirnya sang istri menjadi pendamping setia bagi sang suami di dalam mengarungi bahtera kehidupannya yang panjang, dan dia menjadi tempat mencurahkan rahasia sang suami. Karena manusia secara tabiatnya mencari teman yang baik dan dekat untuk membuka semua rahasianya dengan berterus-terang.

Seperti yang kami sebutkan, seorang anak adalah ibarat seorang yang mengikat hubungan (suami istri ). Bila tidak dikaruniai seorang anak hubungan tersebut dimungkinkan akan hambar setelah beberapa tahun dari pernikahan, dan akhirnya menjadi pudar. Dan terkadang juga hubungan (suami istri) tersebut terputus.

Kelanggengan hubungan suami istri yang selalu diiringi rasa cinta, menuntut seorang istri untuk melakukan pekerjaan yang begitu banyak, baik yang berkaitan dengan materi maupun maknawi.

Di antaranya yaitu:


§  Menertibkan dan mengatur rumahnya dengan suatu cara yang memuaskannya, tetapi wajib pula baginya untuk meminta pendapat/perhatian dari suaminya, dan jika suaminya menyutujui, maka itulah yang diharapkan.
§  Wajib bagi istri untuk berusaha sekuat tenaga untuk lebih profosional di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dan tidak mempersoalkan kekurangan-kekurangan yang ada pada suaminya. Wajib baginya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan ini dengan cara tidak memberitahukan kepada suaminya. Maka seandainya seorang suami tidak memperhatikan dalam meletakkan pakaian pada tempat yang semestinya dan dia meletakkan pakaian-pakaian tersebut di atas kursi dan sofa, maka mau tidak mau sang istri dituntut untuk mengambil dan meletakkan pada tempatnya yang sekiranya tempat tersebut dapat menjaga keindahan/keserasiannya.

Bila kebiasaan itu telah terjadi dan istri sedang dalam keadaan sakit, maka sang suami merasakan kesusahan, dia akan berusaha untuk menggantikan posisi sang istri dalam mengurus rumahnya, dia akan meletakkan pakaian pada tempat yang semestinya dan mulai dari sanalah dia akan melaksanankan kebiasaan yang baik tersebut.
§  Sang istri wajib merasa bahwa dia adalah suaminya dengan tujuan untuk saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain, maka sang istri dituntut lebih mempersembahkan rasa cinta dan kasih sayang dan begitu pula sang suami harus berkoban dengan jiwa dengan penuh tanggung jawab, keperkasaan dan keberaniannya.


Jika keduanya sudah sampai pada perasaan yang sedemikian rupa, menyadari mereka sebagai dua jenis yang saling memahami dan saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya, maka mereka berdua akan hidup bahagia sepanjang hayatnya.

Sesungguhnya seorang mukmin selalu merasa diawasi oleh Allah Subhanahu Wata’ala di dalam semua gerak-geriknya, maka ketika di rumah sang suami wajib menunaikan kewajibannya dan melaksakannya dengan sangat teliti, dan begitu pula sang istri bila senantiasa melaksanakan apa yang diridhoi oleh Allah ‘Azza Wajalla dan Rasul-Nya Shallallahu‘Alaihi Wasallam, keduanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta berpegang teguh dengan yang haq disetiap perkataan dan perbuatannya, maka Allah akan menjaga dan menaungi mereka dengan rahmat dan kasih sayang-Nya.
Dengan syarat keduanya wajib berpegang teguh dengan berkata yang haq……………………
Hanya saja asas yang paling penting adalah berkata jujur dan tidak bohong, karena kebohongan akan menjauhkan antara suami dan istri dan akan menimbulkan rasa ketidakkepercayaan di antara mereka berdua, yang mempunyai dampak negatif terhadap keharmonisan mereka pada kehidupan mendatang. Sungguh kebohongan merupakan kunci pertama hancurnya rumah tangga.

Seorang istri wajib setia, tidak egois seperti halnya dia seharusnya tidak menuntut macam-macam kepada suami, seperti membebani suami dari berbagai segi, baik itu berupa materi maupun maknawi. Sebagai contoh jika suaminya seorang pegawai dan dia tahu gajinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, maka hendaklah ia tidak meminta beberapa permintaan berat yang dapat menyusahkannya, sehingga terkadang seorang suami mengadu kepada salah seorang temannya untuk meminjam uang agar dia tidak diketahui kekurangannya oleh sang istri.

Seorang istri wajib menghilangkan tabir penghalang yang ada pada mereka berdua, sekiranya keduanya menjadi sebuah lembaran kertas yang putih di hadapan yang lain, mengungkapkan perasaan kepadanya dalam menghadapi semua masalah yang ada, dan sesungguhnya jiwa keterbukaan yang ada pada mereka berdua itu dapat menenangkannya dan dapat membersihkan setiap keduanya dihadapan yang lain dengan penuh kebebasan dan penuh kemerdekaan..

Kekhususan laki-laki dan perempuan
Kamis, 16 Nopember 06
Di antara hukum-hukum yang menjadi kekhususan bagi laki-laki adalah, bahwa merekalah penanggung jawab rumah, dengan memberikan perlindungan dan perhatian, menjaga keutamaan-keutamaannya, mencegah kehinaan-kehinaannya, dan melindungi rumah tangga dari segala ancaman bahaya. Dan, mereka juga sebagai penanggung jawab, dengan menghidupi dan memberi nafkah bagi keluarganya beserta semua yang berada di dalam rumahnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”. (QS. An-Nisa: 34)

Coba perhatikan pengaruh qiyam (memikul tanggung jawab) ini dalam lafadz تحت pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Artinya: “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah tanggung jawab dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami”. (QS. At-Tahrim: 10).

Maka lafazh تحت dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ini menunjukkan, bahwa tidak ada kekuasaan bagi keduanya (istri Nuh dan istri Luth) atas kedua suami mereka. Akan tetapi, kekuasaan itu justru hak Nabi Nuh dan Nabi Luth atas mereka berdua. Wanita bagaimanapun juga tidak bisa menyamai laki-laki, dan selamanya tidak mungkin mengunggulinya.

Di antara kekhususan laki-laki yang lain adalah bahwasanya kenabian dan kerasulan itu hanya diberikan kepada mereka, tidak kepada kaum perempuan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Artinya: “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri”. (QS. Yusuf: 109)

Kalangan ahli tafsir berpedapat, “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengutus seorang nabi dari kaum wanita, malaikat, jin dan badui”.

Sesungguhnya perwalian umum beserta perangkat atau perwakilannya, semisal: urusan kehakiman, administrasi dan sebagainya, juga seluruh perwalian yang ada, semisal: perwalian dalam pernikahan; kesemuanya itu hanya dilimpahkan kepada kaum laki-laki, bukan kaum perempuan.

Dalam kaitannya dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kaum laki-laki juga memiliki banyak kekhususan yang tidak diperuntukkan bagi kaum perempuan, semisal menunaikan kewajiban jihad, shalat jum’at, shalat berjama’ah, azan, iqamat dan lain sebagainya. Begitu pula, otoritas penjatuhan talak juga tergantung pada keputusan suami bukan istri, da bahkan anak pun dinisbatkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya.

Selain itu, kaum laki-laki juga dilipatgandakan atas perempuan dalam masalah warisan, diyat (sanksi), persaksian, pembebasan budak dan akikah. Semuanya ini beserta hukum-hukum yang berkenaan dengan kekhususan kaum laki-laki lainnya, merupakan arti dari apa yang telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhir ayat talak; yaitu ayat ke-228 dari surat al-Baqarah.

Artinya: “Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Sedangkan hukum-hukum yang dikhususkan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi kaum perempuan sebenarnya juga banyak. Di antaranya mencakup masalah yang berhubungan dengan ibadah, muamalah, pernikahan dan pembahasan-pembahasan yang berkenaan denganya, serta masalah pengambilan keputusan atau kehakiman dan lain sebagainya. Semuanya bisa diketahui dalam al-Qur’an, sunnah maupun buku-buku fikih atau yurispudensi Islam. Bahkan dari dulu hingga sekarang ini, hal itu telah ditulis secara terpisah dalam buku tersendiri. Kemudian, di antara hukum-hukum lain yang khusus diperuntukkan bagi kaum wanita, adalah masalah yang berkaitan dengan perintah memakai hijab dan menjaga keutamaan dirinya

Semua hukum yang hanya dikhususkan baik terhadap laki-laki maupun perempuan ini, pada dasarnya memiliki beberapa faedah dan kegunaan, di antaranya ketiga hal berikut ini:
Pertama, meyakini dan menerima berbagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik yang bersifat inderawi, maknawi maupun syar’i. Semestinya, semua pihak menerima dengan lapang ada apa yang secara qadrati maupun syar’i telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya semua perbedaan yang ada ini, adalah keadilan yang membawa ketertiban dan keteraturan bagi kehidupan masyarakat manusia.
Kedua, bagi seorang muslim dan muslimah tidak boleh mengharapkan apa yang telah dikhususkan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi yang lainnya, mengingat hal itu bisa dikategorikan sebagai tindakan protes terhadap takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, di samping sebagai penolakan atas hukum dan syari’at-Nya. Seorang hamba, justru harus memohon kemurahan dari Tuhannya. Inilah tata krama syar’I yang dapat menghilangkan kedengkian, dan membenahi serta melatih nafsu muthmainnah, untuk senantiasa menerima dengan lapang dada apa yang telah ditakdirkan dan diputuskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang yang demikian itu dan berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 32).

Sebab turunnya ayat ini, adalah seperti yang diriwayatkan Imam Mujahid rahimahullah, beliau berkata, “Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha pernah bertanya, “Wahai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, apakah kaum laki-laki saja yang diperkenankan mengikuti perang, sedangkan kami tidak, padahal kami berhak mendapatkan separuh bagian dari warisan?” Maka, turunlah ayat ini.” (HR. Imam Thabari, Ahmad, Hakim dan yang lainnya).

Abu Ja’far ath-Thabari Rahimahullah pernah berkata, “Maksud dari ayat itu adalah, “Janganlah kalian mengharapkan kelebihan yang telah Allah berikan kepada sebagian kalian atas sebagian yang lainnya”. Dikatakan pula, bahwa ayat ini diturunkan kepada para wanita yang menginginkan kedudukan yang diperuntukkan khusus bagi kaum laki-laki, dan berharap agar mereka memiliki apa yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala mencegah para hamba-Nya dari angan-angan yang bathil, dan sebaliknya memerintahkan mereka agar memohon kemurahan dari-Nya. Hal itu, karena angan-angan semacam itu bisa menimbulkan kedengkian dan kejahatan”.

Ketiga, jika bersikap iri hati saja dilarang, sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat Al-Qur’an tersebut, lalu bagaimana dengan orang-orang yang mengingkari perbedaan-perbedaan syar’I antara laki-laki dan perempuan, bahkan sebaliknya menyerukan penghapusannnya dan menuntut apa yang mereka sebut “kesetaraan gender”? Tanpa diragukan lagi, bahwa hal ini adalah ideologi atheis. Karena, di dalamnya terdapat perlawanan terhadap kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bersifat kauniyah qadariyah, berupa perbedaan-perbedaan bentuk ciptaan dan sifat maknawi yang ada di antara laki-laki dan perempuan. Juga, merupakan penolakan terhadap Islam dan nash-nash syar’I, yang secara tegas telah membedakan antara laki-laki dan perempuan di banyak hukum, sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan terdahulu.

KEWAJIBAN MENGIMANI PERBEDAAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Selasa, 31 Oktober 06
Adanya perbedaan-perbedaan fisik, maknawi dan syar’i antara laki-laki dan perempuan adalah berdasarkan takdir, syara’, realita dan rasional. Hal itu sebagaimana dijelaskan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai dua jenis manusia; “laki-laki dan perempuan”.

Allah berfirman,
Artinya: “Dan bahwasanya Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan Laki-laki dan perempuan.” (QS. An-Najm: 45)

Keduanya sama-sama menghuni dunia dengan kekhususan masing-masing. Dalam konteks umum agama, keduanya sama-sama mengisi dunia dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa dibedakan antara laki-laki dan perempuan, dalam: tauhid dan keyakinan, hakikat keimanan, penyerahan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, pahala dan siksaan, targhib (anjuran) dan tarhib (ancaman), serta dalam masalah fadhail (keutamaan-keutamaan diri). Hal itu, sebagaimana tidak dibedakan pula di antara keduanya dalam konteks umum pemberlakuan syariat tentang hak-hak dan kewajiban secara keseluruhan.

Allah berfirman,
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik”. (QS. An-Nahl: 97).

Namun, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkan dan memutuskan bahwa laki-laki tidak seperti perempuan dalam ciptaan, keadaan dan bentuknya, maka laki-laki memiliki kesempurnaan ciptaan dan kekuatan fisik. Sedangkan perempuan menurut ciptaan, watak dan fisiknya lebih lemah dibandingkan laki-laki, karena ia harus berurusan dengan masalah haid, kehamilan, melahirkan, menyusui bayi, mengurus keperluan bayi yang disusuinya, serta masalah pendidikan anak-anaknya selaku generasi penerus. Karena inilah, perempuan diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam alaihi salam. Ia merupakan bagian darinya, yang selalu mengikutinya sekaligus sebagai kesenangan baginya. Sedangkan laki-laki dipercaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, menjaganya dan memberi nafkah kepadanya, di samping juga nafkah anak hasil hubungan mereka berdua. Konsekwensi dari perbedaan ciptaan ini adalah, adanya perbedaan kekuatan dan kemampuan fisik, rasio, fikiran, perasaan dan kemauan, serta dalam pekerjaan dan lain sebagainya. Di samping hasil kajian yang telah disampaikan oleh pakar kedokteran kontemporer berkenaan dengan pengaruh-pengaruh yang menakjubkan, akibat adanya perbedaan bentuk ciptaan antara laki-laki dan perempuan.

Dua macam perbedaan inilah yang pada akhirnya dijadikan barometer oleh kebanyakan hukum tasyri’. Keduanya dengan kemaha-bijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Yang Maha Mengetahui, mengharuskan adanya perbedaan, kelainan dan kelebihan antara laki-laki dan perempuan dalam sebagian hukum tasyri’, baik dalam urusan dan tugas yang sesuai dengan ciptaan, bentuk kemampuan dan operasional masing-masing, serta kekhususan masing-masing dalam konteks kehidupan manusia, agar hidup saling melengkapi dan masing-masing melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhususkan laki-laki dengan beberapa hukum yang sesuai dengan ciptaannya, bentuknya, kerangka tubuhnya, karakternya, keahliannya, kemampuan bekerjaanya, kesabarannya dan keuletannya. Tugas mereka secara umum berada di luar rumah, bekerja dan memberi nafkah kepada keluarganya yang berada di dalam rumah.

Di samping itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengkhususkan perempuan dengan beberapa hukum yang sesuai dengan ciptaannya, bentuknya, kerangka tubuhnya, karakternya, keahliannya, kemampuan operasionalnya serta kelemahannya untuk memikul beban berat. Dan secara umum, tugas dan wewenang perempuan berada di dalam rumah, membereskan semua urusan rumah dan mendidik anak-anak sebagai generasi masa depan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman berkenaan dengan istri Imran:

Artinya: “… dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (QS. Ali Imran: 36)

Maha suci Allah yang memegang sepenuhnya hak mencipta, memerintahkan, menghukumi dan memberlakukan syari’at.

Artinya: “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah, Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al-A’raf: 54).

Yang demikian itu adalah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bersifat ’kauniyah qadariyah’ (ketentuan alamiyah) dalam ciptaan, bentuk dan potensi-potensinya. Sedang yang ini adalah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bersifat ’diniyah syar’iyah’ (syariat keagamaan) dalam hal yang berkenaan dengan perintah, hukum dan pemberlakuannya. Maka, kedua kehendak inipun bertemu atas dasar kemaslahatan manusia selaku hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, pemakmuran alam, ketertiban hidup individu manusia, rumah, kelompok dan komunitas sosial.

Hit : 788 | Index |
Menjaga Kebahagiaan Rumah Tangga (1)
Rabu, 08 Februari 06

Menjadi suami isteri yang baru merupakan kondisi yang berbeda sama sekali dibanding ketika bujangan. Menjadi suami isteri berarti bertemunya dua watak, perasaan, keinginan, kebiasaan, dan kesenangan yang berbeda. Maka yang harus dilakukan adalah berupaya untuk saling memahami dan menyesuaikan diri serta membuat kesepakatan yang sama untuk tujuan sebuah keluarga.

Rumah tangga yang bahagia adalah rumah tangga yang dibangun di atas tujuan mencari ridho Alloh subhanahu wa ta'ala dan masing-masing pasangan memahami tugas, peran, fungsi, hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya di dalam rumah tangga.


A. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI
Setiap orang tua mempunyai hak atas anaknya. Demikian pula seorang anak mempunyai hak atas ayahnya. Kewajiban-kewajiban seorang Ayah adalah:


§  Mendapatkan calon ibu yang sholihah yang akan mengandung, menyusui dan mendidik putra-putrinya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa biasanya suami itu memilih wanita yang ingin dijadikan isteri dengan empat alasan, karena kecantikkannya, nasabnya, hartanya dan agama-nya dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan agar calon suami menitikberatkan pada faktor agama.
§  Seorang suami mengerti cara menggauli istrinya.
§  Seorang suami ketika awal menemui istrinya hendaklah berdo’a meminta kebaikan dari istri yang diberikan-Nya, lalu meletakkan tangannya di atas ubun-ubun kepala isterinya dengan berdoa:
اَللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِمَاجَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّمَاجَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
§  Kemudian sholat bersamanya dua raka’at.
§  Selanjutnya ia mendatangi isterinya dengan menye-nangkan hati isterinya, sehingga suasana nyaman, hangat, dan indah berkesan.
§  Jika ia hendak mendatanginya, maka hendaklah ia (suami) berdo’a,
اَلّلهُم جَنِّبْنَا الشّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaithan dan jauh-kanlah syaithon dari apa-apa yang Engkau rizqikan kepada kami.”
Apabila sang suami telah mencapai kepuasan, maka hendaklah ia menunggu sampai sang isteri mencapai kepuasannya.
§  Suami tidak memaksa ketika sang isteri sedang tidak tenang hatinya atau sedang kelelahan karena seharian mengurus rumah dan anak.

§  Suami mendorong isteri untuk memperbanyak kela-hiran atau mempunyai anak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mem-punyai banyak anak (subur), karena aku bangga dengan sebab banyaknya kalian di hadapan para nabi nanti pada hari Kiamat.” (HR. Ahmad No: 13594)
§  Memimpin anak-anak dan isterinya, menjadi orang yang dituakan, hakim, sekaligus pendidik, sehingga tidak ada anggota keluarga yang menyimpang akhlak dan adabnya.
Firman Alloh Subhanahu wa Ta'ala, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menaf-kahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa, 4:34)

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Di dalamnya ada malaikat yang kasar lagi bengis yang tidak mengingkari terhadap apa yang diperintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS.At-Tahrim:6)


Biasakan dirimu dengan ketaatan dan kebaikan, kemudian ajarkan kepada anak-anak dan isterimu kebaikan dan ketaatan itu.
§  Memberi nafkah dengan memberikan makanan yang halal, pakaian dan tempat tinggal.
Firman Allah, “Hendaknya orang yang mempunyai kelelua-saan itu memberikan nafkah sesuai dengan keleluasaannya.” (QS: At-Thalaq: 7)
§  Nabi  bersabda,
دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَقْتَ بِهِ عَلى مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهٌ عَلى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلى أَهْلِكَ
“Satu dinar yang kamu belanjakan di jalan Alloh Subhanahu wa Ta'ala, satu dinar yang kamu belanjakan untuk (membebaskan) seorang budak, satu dinar yang kau sedekahkan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu belanjakan untuk keluargamu, maka yang terbesar (pahalanya) adalah dinar yang kamu belanjakan untuk keluargamu.” (HR. Imam Muslim dari Abu Hurairoh Radhiallahu 'anhu No: 995)
§  Menyediakan rumah atau tempat tinggal untuk istri dan anaknya.
§  Menjadi teladan bagi anak dan istri dalam kebaikan dan ketakwaan kepada Alloh Subhananu wa Ta'ala. Dalam bimbingan suami yang sholih dan istri yang sholihah sangat memungkinkan bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang dalam suasana yang baik dan penuh keimanan.
§  Menghormati orang tua dan keluarga istri serta kerabatnya. Sebab bila seseorang menikah, dia bukanlah menikah dengan istrinya saja, tetapi dia juga mengambil saudara dan kerabat istrinya sebagai saudara dan kerabatnya yang harus disayangi juga.
§  Menganjurkan dan menggairahkan isteri untuk meningkatkan wawasan dan keilmuan. Menghadiri majlis ilmu dan mempelajari ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita, dengan tetap memperhatikan keamanan dan tidak adanya ikhtilat dengan laki-laki.
§  Menyediakan waktu khusus bagi istri dan mendengarkan keluhan-keluhannya. Menghargai pekerjaan rumahnya dan pemeliharaan anak-anaknya. Jika mengetahui ia melakukan kekeliruan tidak segera mencelanya, tetapi menasehatinya dengan cara yang baik.
§  Tidak mencelanya maupun membanding-bandingkan-nya dengan wanita lain yang lebih baik. Sebab kita pun sangat tidak senang, jika dibanding-bandingkan dengan orang lain, karena setiap orang punya kekurangan dan kelebihan, demikian juga sang istri.
§  Mengajak istri dan anak-anak mengunjungi orang-orang sholih untuk mencontoh mereka. Mengunjungi guru dan meminta nasehat darinya.
§  Mengajak istri dan anak-anak untuk sesekali mengisi liburan dengan rekreasi ke tempat yang sejuk dan menyegarkan fisik dan pikiran. Mengadakan permainan yang menggembirakan seperti olah raga dan bermain kejar-kejaran dengan istri dan anak-anak.
§  Memberikan hadiah yang mendidik kepada isteri dan anak jika melakukan sesuatu yang baik. Tidak mengukur hadiah dari mahalnya harga, tetapi dari perhatian yang tepat, saat yang sesuai dan disaat mereka terlihat meng-harapkan perhatian.
Menjaga Kebahagiaan Rumah Tangga (2)
Jumat, 17 Maret 06

B. HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI

Hak istri adalah:


§  Mendapatkan perlakuan yang lembut dan kasih sayang dari suaminya.
§  Menerima nafkah lahir dan bathin yang baik.
§  Dihargai dan mendapat bimbingan dengan ilmu dan akhlak yang mulia.
§  Mendapatkan rumah yang aman.
§  Dibantu dan ditolong jika mendapat kesulitan.
§  Dilindungi dari orang-orang yang bisa menyakitinya, baik perasaan maupun pikirannya.

Rasulullah Shollalallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan kepada para suami,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik kepada keluarganya.” (HR.Ibnu Majah, At-Tirmidzi)

Kewajiban istri di rumah tangga yakni:

§  Mena’ati suami selama hal itu bukan perbuatan maksiat.
§  Senantiasa menetap di rumah dan jika ke luar rumah seizin suami.
§  Jika berpuasa sunnah seizin suami jika suami di rumah.
§  Menjaga rumah dan harta suami serta dirinya ketika suami tidak ada di sisinya.
§  Hendaknya selalu bersyukur dan berterima kasih atas pemberian suami kepadanya dan senantiasa mendo’a-kannya.
§  Berbuat baik kepada keluarga suami dan kerabatnya.
§  Berhias untuk sang suami.
§  Memberikan waktu khusus bagi suami untuk keperluannya.
§  Tidak memberikan harta, kecuali atas izin suaminya.
§  Tidak menyebarkan rahasia suami dan menceritakan aibnya kepada orang lain.
§  Apalagi tentang hubungan suami istri, karena hal ini termasuk perkara yang sangat dilarang oleh syari’at.
§  Tidak menuntut cerai kepada suami tanpa alasan yang dibenarkan syari’at sebab nantinya ia akan diharamkan mencium bau surga.
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا مَا بَأْسَ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita manapun yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada alasan (yang benar) maka haram baginya (mencium) bau surga”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Turmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ad Darimi, Al-Baihaqi, Al-Hakim)
§  Ridho dan iklash mengandung anak, menyusuinya selama dua tahun penuh dan memelihara serta mendidiknya sampai anaknya mencapai usia dewasa.
§  Menyenangkan suaminya ketika di rumah, memberikan pelayanan yang baik, dan mencari keridhaannya dengan memohon masuk surga kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah Shollalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Setiap wanita yang meninggal dunia sedang suaminya ridha kepadanya, maka dia masuk syurga.” (HR. Ibnu Majah 1854 dan At-Turmudzi 1161).
§  Tidak menyakiti suami.
§  Suami yang beriman dan beramal sholih ditunggu oleh bidadari di syurga. Dari Muaz bin Jabal Radhiallahu 'anhu dari Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia, melainkan berkata istrinya dari bidadari di syurga, “Janganlah menyakitinya, semoga Alloh Subhanahu wa ta'ala mencelakakanmu karena sesungguhnya ia hanya semen-tara menemanimu dan akan meninggalkanmu untuk kembali kepada kami.” (HR. At-Turmudzi 1174, Ahmad 5/242, Hadits hasan).
§  Menjaga diri dan harta suaminya ketika suami tidak berada di rumah.


C. HAK BERSAMA SUAMI ISTRI

§  Mensyukuri pernikahan sebagai anugrah dari Alloh Subhanahu wa ta'ala yang menjadikan halal dan sah sebagai suami istri.
§  Menjaga amanah berupa anak-anak. Mendidik dan merawat anak-anak semoga menjadi insan yang bertaqwa dan berbuat yang terbaik bagi kedua orang tuanya.
§  Bersama-sama menciptakan rumah tangga Islami. Kebiasaan dan keteladan yang baik dari orang tua akan ditiru oleh anak-anak mereka. Itulah akhlakul karimah dan merupakan cara memberikan pendidikan yang paling efektif.
§  Saling melindungi dan menjaga rahasia masing-masing. Sehingga kelemahan menjadi hilang dan kebaikan semakin tampak. Rumah tangga penuh dengan kedamaian dan keharmonisan serta kasih sayang. Rasul mengingatkan sebaik-baik kalian (para suami) adalah yang paling baik terhadap istrinya. Sebaik-baik wanita sholihah adalah yang taat dan melayani suami dan selalu membantunya dalam urusan akhirat dengan ikhlas.

لَوْكُنْتُ آمِرًا بَشَرًا يَسْجُدُ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ اَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya saya diperintahkan manusia untuk sujud terhadap sesama niscaya saya akan memerintahkan kaum wanita untuk sujud kepada suaminya”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad)

Hal itu menunjukkan betapa besarnya nilai ketaatan wanita terhadap suaminya

Adab Shalat Tarawih Bagi Wanita
Senin, 09 Oktober 06
Ada seorang wanita shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, namanya Ummu Humaid ingin mengikuti shalat bersama Rasul Shalallaahu alaihi wasalam di masjid Nabi, maka Rasulullah memberikan jawaban yang begitu indah dan berkesan, yang artinya,
"Sungguh aku tahu, bahwa engkau senang shalat bersamaku, padahal shalatmu di dalam kamar lebih baik dari pada shalatmu di rumah, dan shalatmu di dalam rumah lebih baik dari pada shalatmu di masjid kampungmu, dan shalatmu di masjid kampung lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini." (HR. Ibnu Khuzaimah, di dalam shahihnya).

Hadits di atas barangkali memiliki korelasi yang erat dengan hadits lain riwayat Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah, dari Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
"Sesungguhnya wanita adalah aurat, apabila dia keluar, maka syetan menghiasnya. Dan sedekat-dekatnya seorang wanita kepada Tuhannya adalah tatkala ia berada di bagian paling tersembunyi di rumahnya."

Berdasarkan dua hadits di atas dapat diambil pengertian, bahwa pada dasarnya kondisi paling utama seorang wanita adalah tatkala berada di tempat yang paling tersembunyi, termasuk ketika melakukan shalat. Apabila seorang wanita ingin shalat berjama'ah -termasuk tarawih-, maka hendaknya memilih tempat tersendiri khusus untuk para wanita. Kalau mengharuskan shalat di masjid yang biasa digunakan shalat oleh kaum pria, maka hendaknya memperhatikan adab-adab dan aturan ketika menuju ke sana. Karena tidak selayaknya seseorang ingin mencari pahala, namun dalam waktu bersamaan melakukan perbuatan yang dimurkai oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala.
Di antara adab-adab yang perlu diperhatikan oleh seorang wanita ketika akan mendatangi masjid (khusus-nya shalat tarawih) adalah sebagai berikut:

1. Ikhlas
Hendaknya ketika berangkat ke masjid benar-benar ikhlas karena Allah. Bukan karena ingin bertemu dengan para wanita atau ibu-ibu yang lain, bukan karena ingin mendengarkan bacaan Imam, atau karena ikut-ikutan temannya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah Subhannahu wa Ta'ala, (lihat di dalam surat al-Bayyinah ayat 5).
Dan juga sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang artinya,
"Barang siapa mendatangi masjid untuk tujuan tertentu, maka itulah yang menjadi bagiannya." (HR. Abu Daud)

2. Meminta Izin
Seorang wanita yang akan pergi ke masjid seharusnya meminta izin kepada ayah atau suaminya, berdasarkan hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu dia berkata, telah bersabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, artinya:
“Janganlah kalian melarang wanita untuk mendatangi masjid, bila mereka minta izin kepada kalian." (Shahih Muslim)

Di dalam riwayat yang Muslim yang lain disebutkan,
"Apabila istri kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, maka berilah mereka izin."
Jika telah mendapatkan izin, silakan ke masjid, namun jika tidak diizinkan janganlah berangkat, karena taat terhadap suami lebih didahulukan daripada ibadah sunnah, demikian pula seorang putri jika tidak diizinkan ayahnya.

Selayaknya seorang suami jangan melarang istrinya pergi ke masjid, bila telah meminta izin dengan baik-baik, kecuali jika ada kondisi yang tidak mengizinkan, seperti bahaya atau gangguan di jalanan. Namun para wanita juga harus menyadari, bahwa shalat mereka di rumah adalah lebih utama, dan juga keluarnya mereka ke tempat umum justru terkadang menimbulkan fitnah atau dosa.

3. Berhijab/Menutup Aurat
Jangan sampai pergi ke masjid dalam kondisi tabarruj, yakni berdan dan seronok, sengaja memancing perhatian, berpakaian ketat serta menampakkan perhiasan atau auratnya, sebab sekali lagi harus diingat, bahwa jika wanita keluar rumah, maka syetan menghiasnya, sehingga kelihatan menggoda dan menarik. Tabarruj adalah salah satu sifat wanita-wanita jahiliyyah yang tercela sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala , yang artinya:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj (berhias dan bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS al-Ahzab: 33)

Syarat-syarat hijab adalah:

§  Menutup seluruh tubuh
§  Tidak membentuk lekuk tubuh
§  Tidak pendek atau ketat
§  Tidak transparan
§  Bukan pakaian mewah untuk pamer
§  Tidak mengikuti mode wanita kafir
§  Tidak menyerupai pakaian laki laki dan
§  Tidak bercorak menyolok atau bergambar makhluk hidup.

4. Tidak Memakai Parfum
Parfum merupakan salah satu penyebab fitnah dan kerusakan, bila salah dalam mempergunakannya. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah melarang wanita yang menggunakan minyak wangi untuk menghadiri shalat Isya', sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Muslim. Bukan sekedar itu saja, bahkan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam memberikan peringatan lebih keras lagi dalam hal ini, sebagaimana sabda beliau Shalallaahu alaihi wasalam,
"Wanita mana saja yang menggunakan parfum lalu keluar ke masjid, maka shalatnya tidak di terima sebelum dia mandi." (HR. Al-Baihaqi).

Jika pergi ke masjid untuk ber-ibadah tidak boleh menggunakan parfum, maka apalagi jika perginya adalah ke tempat-tempat umum selain masjid, tentu lebih tidak boleh lagi!

Berdandan, menampakkan kecantikan dan menggunakan parfum untuk dipamerkan kepada laki-laki lain adalah kebiasaan para pelacur. Maka seorang wanita muslimah yang terhormat tidak boleh meniru-niru tingkah mereka, karena sangat beresiko dan dapat menjerumuskannya ke dalam maksiat.

5. Tidak Berkhalwat
Yakni tidak boleh jalan berduaan dengan laki-laki lain (bukan mahram) baik itu berjalan kaki maupun berduaan di dalam mobil, entah itu teman, tetangga atau sopir pribadi sekalipun. Berdasarkan kepada hadits nabi Shalallaahu alaihi wasalam,
"Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, kecuali wanita tersebut disertai mahramnya." (HR. Muslim dari Ibnu Abbas)

Di dalam riwayat lain disebutkan, bahwa jika seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, maka pihak ke tiganya adalah syetan.

6. Merendahkan Suara
Secara umum bukan hanya wanita saja yang diperintahkan untuk meren-dahkan suara dan tidak mengeraskannya, apalagi di dalam masjid. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya:
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguh-nya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. 31:19)

Dan bagi wanita, masalah ini lebih ditekankan lagi, sehingga wanita apabila mengingatkan imam yang lupa atau salah cukup dengan menepukkan telapak tangan kanan ke punggung tangan kiri, bukan bertasbih (mengucap subhanallah).

Hendaknya wanita menjaga suaranya di hadapan kaum laki-laki, karena tidak seluruh laki-laki hatinya sehat, di antara mereka ada yang hatinya sakit, dalam arti mudah tergoda dengan suara wanita.

Pembicaraan seorang wanita hanya dibolehkan di dalam hal-hal yang memang mengharuskan, seperti jual beli, memberikan persaksian, menjawab salam dan semisalnya. Ini pun harus diperhatikan, agar jangan sampai melembutkan suara, atau sengaja dibuat-buat supaya menarik. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya:
[“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa.Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS. 33:32)

Jika wanita-wanita suci semisal istri Nabi masih diperintahkan untuk demikian, maka selayaknya para muslimah juga mencontoh mereka.

7. Menundukkan Pandangan
Para wanita hendaknya menundukkan pandangan dari laki-laki lain yang bukan mahram sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala, yang artinya:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka.” (QS. An-Nuur: 31)

Pandangan mata, sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim adalah cerminan hati, jika seorang hamba dapat menundukkan pandangannya, maka ia akan dapat menundukkan syahwat dan segala kemauannya. Sebaliknya jika pandangan dibiarkan dengan bebas dan leluasa, maka syahwat akan menguasai-nya.

Jarirz pernah bertanya kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tetang pandangan yang tidak di sengaja, maka beliau menjawab, "Palingkanlah pandanganmu." (HR Ahmad)
Dari Buraidah Radhiallaahu anhu, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah berkata kepada Ali Radhiallaahu anhu, "Wahai Ali jangan kau susul pandangan (pertama) dengan pandangan yang lain, karena untukmu han ya yang pertama, dan selebihnya bukan buatmu." (HR. Ibnu Abdul Barr)

8. Hindari Ikhtilath
Jangan sampai terjadi ikhtilath (campur baur) laki-laki dan perempuan, baik ketika di jalan, ketika masuk masjid maupun ketika bubar dari masjid.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Baihaqi, dengan sanad hasan dari Hamzah bin Usaid dari ayahnya, bahwa dia mendengar Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda sedang beliau berada di luar masjid, dan kaum pria saat itu bercampur dengan kaum wanita di jalan, maka beliau pun bersabda kepada para wanita,
"Menepilah kalian, sesungguhnya kalian tidak ada hak di tengah jalan, hendaklah kalian semua berjalaan di tepian." (HR. Abu Daud dan Baihaqi). Maka seketika itu para wanita menepi ke tembok.

9. Tidak Menelantarkan Anak-anak
Termasuk tanggung jawab terbesar seorang wanita (ibu) adalah mendidik dan mengawasi anak, dan kelak dia akan ditanya oleh Allah tentang tanggung jawab ini.

Apabila kepergian seorang wanita ke masjid dengan menelantarkan anak-anak, seperti menyerahkan kepada pembantu yang kurang baik akhlaknya, atau menjadikan anak pergi leluasa bergaul dengan teman-teman yang buruk, maka hal itu tidak dibenarkan. Karena mencegah sesuatu yang buruk (terlan-tarnya anak) lebih di dahulukan daripada mencari manfaat (tarawih di masjid).

10. Menjaga Adab di Masjid
Masjid adalah rumah Allah dan tempat yang sangat mulia, ketika seseorang akan memasukinya, maka harus memperhatikan dan manjaga adab-adab ketika berada di dalamnya. Di antara yang perlu diperhatikan adalah:

§  Menjaga kebersihan dan jangan sampai membuang kotoran di dalam masjid
§  Tidak mendatangi masjid ketika habis makan bawang (jengkol, petai dan semisalnya)
§  Tidak meludah di masjid, jika terpaksa hendaknya meludah di tissu, sapu tangan atau pakaian, dan jangan meludah ke arah kiblat.
§  Mengawasi anak-anak agar jangan merobek atau melempar-lempar mushhaf
§  Jangan memasukkan gambar-gambar makhluk bernyawa ke dalam masjid, baik berupa motif baju anak, mainan, majalah dan lain-lain.
Demikian semoga bermanfaat bagi kita semuanya.

Diringkas dari: “Al-Muntaqa min Adab Shalat at-Tarawih Linnisaa”, Husain bin Ali asy Syaqrawi, kata sambutan dan koreksi Syaikh Abdullah Ibnu Jibrin.

ADAB BERBEDA PENDAPAT
Jumat, 15 September 06

§  Tenanglah dengan niat yang ikhlas dan mencari yang haq serta melepaskan diri dari nafsu di saat berbeda pendapat. Juga menghindari sikap over akting, membela diri, dan emosional.
§  Kembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitab Al-Qur’an dan Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Kitab) dan Rasul.” (An-Nisa: 59).
§  Berbaik sangka kepada orang yang berbeda pendapat dan tidak menuduh buruk niatnya serta tidak mencela dan menganggapnya cacat.
§  Janganlah memperuncing perselisihan, tafsirkan penda-pat yang keluar dari lawan atau yang dinisbatkan kepa-danya dengan tafsiran yang baik.
§  Janganlah mudah menyalahkan orang lain, kecuali sesudah diteliti secara mendalam dan dipikirkan secara matang.
§  Berlapangdadalah di dalam menerima kritikan yang ditujukan kepada anda atau catatan-catatan yang dialamatkan kepada anda.
§  Hindarilah permasalahan-permasalahan khilafiyah dan fitnah.
§  Bersikaplah sopan dan berpegang teguh pada adab berdialog dan menghindari perdebatan, bantah-membantah dan kasar menghadapi kawan.
ADAB BERBICARA
Jumat, 14 Juli 06

§  Fikirlah dahulu sebelum berbicara. Bicaralah selalu di dalam hal kebaikan.
Allah Subhanahu Wa Ta،¦ala berfirman yang artinya,

،§Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.،¨ (An-Nisa: 114)
§  Bicaralah dengan suara yang dapat didengar, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu rendah, ungkapan-nya jelas, dapat dipahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan.
§  Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna. Rasulullah shollallahu ،¥alaihi wa sallam menyatakan ،§Termasuk baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.،¨ (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Maka bicaralah hanya secukupnya.
§  Janganlah kamu membicarakan semua apa yang kamu dengar.
Rasulullah shollallahu ،¥alaihi wa sallam bersabda, ،§Cukuplah menja-di suatu dosa bagi seseorang apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar.،¨ (HR. Muslim).
§  Hindari perdebatan dan saling membantah, sekalipun berada di pihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda.

Rasulullah shollallahu ،¥alaihi wa sallam bersabda, ،§Aku menjadi penjamin sebuah istana di taman Surga bagi siapa saja yang menghindari perdebatan sekalipun ia benar; dan penjamin istana di tengah-tengah Surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bercanda.،¨ (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
§  Tenanglah dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Bunda Aisyah d menuturkan, ،§Sesungguhnya apabila Nabi shollallahu ،¥alaihi wa sallam membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya.،¨ (Muttafaq ،¦alaih).
§  Hindari perkataan jorok (keji).
Rasulullah shollallahu ،¥alaihi wa sallam bersabda, ،§Bukankah seorang mu،¦min (jika ia) pencela, pengutuk atau yang keji pembicaraan-nya.،¨ (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan dishahihkan oleh Al-Albani).
§  Hindari sikap memaksakan diri dan banyak omong di dalam berbicara.
Hadits Jabir radhiallahu ،¥anhu menyebutkan, ،§Sesungguhnya manu-sia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang mutafaihiqun. ،§Para shahabat bertanya, ،§Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun?،¨ Nabi menjawab, ،§Orang-orang yang sombong.،¨ (HR. At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
§  Hindari ghibah (menggunjing) dan mengadu domba. Allah Subhanahu Wa Ta،¦ala berfirman,

،§Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.،¨ (Al-Hujurat: 12).
§  Dengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak menampakkan bahwa kita mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak meng-anggap rendah pendapatnya atau mendustakannya.
§  Jangan memonopoli pembicaraan, tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk berbicara.
§  Hindari perkataan kasar, dan ucapan yang menyakitkan perasaan serta tidak mencari-cari kesalahan dari kekeliruan pembicaraan orang lain, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan. Seperti: Mengafirkan, menuduh fasik, memvonis celaka dan sumpah palsu.
§  Hindari sikap mengejek, memperolok-olok dan meman-dang rendah orang yang berbicara.
Allah ƒ¹ berfirman yang artinya,
،§Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan).،¨ (Al-Hujurat: 11).
§  Jangan terlalu keras bersuara,
Allah ƒ¹ berfirman yang artinya,
،§Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkan-lah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.،¨ (QS. Lukman :19)
§  Jangan memanggil tuan yang mulia kepada orang fasik.
§  Jangan bersumpah selain dengan nama Allah.
§  Jangan mencaci dan menyalahkan masa, terutama kepada kaum muslimin.
Adab Tidur dan Bangun
Kamis, 13 April 06

Sesungguhnya Islam benar-benar menaruh perhatian yang sangat besar kepada manusia di dalam segala urusannya -agama dan dunianya- di saat lapang maupun sulitan, bangun maupun tidur, di kala bepergian maupun menetap, saat makan maupun minum, waktu bahagia maupun sedih. Singkat kata, tidak ada satu hal pun, baik kecil maupun besar, melainkan telah dijelaskan oleh Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggoreskan buat kita melalui ucapan dan perbuatannya rambu-rambu adab yang seyogyanya ditempuh oleh setiap mu’min di dalam hidupnya. Rasulullah n telah menjelaskan, siapa saja yang menghendaki kebahagiaan, hendaklah ia menempuh jalan hidup Rasulullah n dan meneladani adabnya.

A. ADAB TIDUR DAN BANGUN


§  Muhasabah; Hendaklah menghitung-hitung sesaat sebelum tidur, mengoreksi segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Ini sangat dianjurkan bagi setiap muslim. Lalu jika ia dapatkan perbuatannya itu baik, maka hendaknya memuji Allah Subhanahu wa ta’ala, jangan memuji diri sendiri, dan jika sebaliknya, maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya, kembali dan bertobat kepada-Nya.
§  Tidurlah seawal mungkin, jangan larut malam, berdasarkan hadits yang bersumber dari `Aisyah radhiallahu ‘anha “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur pada awal malam dan bangun pada penghujung malam, lalu beliau melakukan shalat.” (Muttafaq `alaih)
§  Berwudhulah sebelum tidur dan berbaring miring ke sebelah kanan. Sahabat Rosulullah, Al-Bara’ bin `Azibz menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kamu akan tidur, maka berwudhu’lah sebagaimana wudhu’ untuk shalat, kemudian berbaringlah dengan miring ke sebelah kanan...” Dan tidak mengapa berbalik ke sebelah kiri nantinya.
§  Kibaskan sprei tiga kali sebelum berbaring, berdasarkan hadits Abu Hurairahz bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang dari kalian akan tidur pada tempat tidurnya, maka hendaklah mengirapkan kain tempat tidurnya itu terlebih dahulu, karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya...” Di dalam satu riwayat dikatakan, “Tiga kali.” (Muttafaq `alaih)
§  Berbaringlah dengan miring kanan. Jangan tidur tengkurap. Abu Dzarz menuturkan, “Nabi n pernah lewat di dekatku, di saat itu aku sedang tengkurap, maka Nabi membangunkanku dengan kakinya sambil bersabda, ”Wahai Junaidab (panggilan Abu Dzar), sesungguhnya berbaring seperti ini (teng-kurap) adalah cara berbaringnya penghuni neraka.” (HR. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani)
§  Jangan tidur di atas dak terbuka, karena di dalam hadits yang bersumber dari `Ali bin Syaiban disebutkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan darinya.” (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
§  Tutuplah pintu, jendela, dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur. Dari Jabir radhiallahu ‘anha diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Padamkanlah lampu di malam hari apabila kamu akan tidur, tutuplah pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana dan tutuplah makanan dan minuman.” (Muttafaq ’alaih)
§  Baca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan Al-Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), karena banyak hadits-hadits shahih yang menganjurkan hal tersebut.
§  Baca do’a-do’a dan dzikir yang keterangannya shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti :
اللَّهُمَّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ (رواه أبو داود وصححه الألبان)
“Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali segenap hamba-Mu.” Dibaca tiga kali. (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al-Albani)
Dan ucapkan,
بِاسْمِكَ اَللَّهُمَّ أَمُوْتُ وَأَحْيَا (رواه البخاري )
“Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup.” (HR. Al-Bukhari)
§  Apabila di saat tidur merasa kaget atau gelisah atau merasa ketakutan, maka disunnatkan (dianjurkan) berdo’a dengan do’a berikut ini :
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ ، وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّياَطِيْنِ وَأَنْ يَحْضُرُوْنِ (رواه أبو داود وحسنه الألباني )
“Aku berlindung dengan Kalimatullah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, dari gangguan syetan dan kehadiran mereka kepadaku.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al-Albani)
§  Bila bermimpi baik, maka bergembiralah dan ceritakan hanya kepada orang yang senang kepadamu. Bila mimpi buruk, maka meludahlah ke kiri tiga kali, baca ta’awudz jangan diceritakan kepada orang lain, dan pindahlah posisi tidur, atau bangunlah dan shalatlah.
§  Ketika bangun tidur hendaknya ucapkan,
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرُ (رواه البخاري)
“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami

setelah kami dimatikan-Nya, dan kepada-Nya lah kami dikembalikan.” (HR. Al-Bukhari).
Atau dengan ayat penutup Ali Imran, kemudian shalat (HR. Al-Bukhari 103, Muslim 763, Ahmad 2165, An-Nasai 1620, Abu Dawud 58)

ADAB BUANG HAJAT
Kamis, 27 April 06
B. ADAB BUANG HAJAT

§  Jangan menunda-nunda, segeralah membuang hajat.
Apabila seseorang merasa akan buang air, maka hendaknya bersegera melakukannya, karena hal tersebut berguna bagi agamanya dan bagi kesehatan jasmaninya.
§  Menjauhlah dari pandangan manusia di saat buang air (hajat). Berdasarkan hadits yang bersumber dari Al-Mughirah bin Syu`bah radhiallahu ‘anhu disebutkan, “Bahwasanya NabiShollallahu ‘alahi wa sallamapabila pergi untuk buang air (hajat), maka beliau menjauh.” (Diriwayatkan oleh empat Imam dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
§  Hindarilah tiga tempat terlarang, yaitu aliran air, jalan-jalan manusia dan tempat berteduh mereka. Sebab ada hadits dari Mu`adradhiallahu ‘anhu bin Jabalradhiallahu ‘anhu yang menyatakan demikian.
§  Jangan mengangkat pakaian sehingga sudah dekat ke tanah, yang demikian itu supaya aurat tidak kelihatan. Di dalam hadits yang bersumber dari Anasradhiallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Biasanya apabila NabiShollallahu ‘alahi wa sallamhendak membuang hajatnya tidak mengangkat (meninggikan) kainnya sehingga sudah dekat ke tanah.” (HR. Abu Daud dan At-Turmudradhiallahu ‘anhui, dinilai shahih oleh Al-Albani).
§  Jangan membawa sesuatu yang berisi ungkapan Allah Subhanahu wa ta’ala kecuali karena terpaksa. Karena tempat buang air (WC dan yang semacamnya) merupakan tempat kotoran dan hal-hal yang najis, tempat syetan berkumpul. Hal ini demi memelihara nama Allah Subhanahu wa ta’ala dari penghinaan dan tindakan meremehkannya.
§  Jangan menghadap atau membelakangi kiblat, berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Ayyub Al-Anshariradhiallahu ‘anhu, ia menyebutkan bahwasanya Nabi Shollallahu ‘alahi wa sallamtelah bersabda, “Apabila kamu sampai di tempat buang air, maka janganlah kamu menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, apakah itu untuk buang air kecil ataupun air besar.” (Muttafaq’alaih).
Ketentuan di atas berlaku apabila di ruang terbuka saja. Adapun jika di dalam ruang (WC) atau adanya penutup/ penghalang yang membatasi antara si pembuang hajat dengan kiblat, maka boleh menghadap ke arah kiblat namun membelakangi kiblat lebih baik daripada menghadapnya.
§  Jangan kencing di air yang tergenang (tidak mengalir), berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya RasulullahShollallahu ‘alahi wa sallambersabda, “Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian buang air kecil di air yang menggenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di situ.” (Muttafaq ’alaih)
§  Jangan mencuci kotoran dengan tangan kanan, karena hadits yang bersumber dari Abu Qatadahradhiallahu ‘anhu menyebutkan bahwasanya Nabi Shollallahu ‘alahi wa sallambersabda, “Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian memegang dradhiallahu ‘anhuakar (kemaluan)nya dengan tangan kanannya di saat kencing dan jangan pula bersuci dari buang air dengan tangan kanannya.” (Muttafaq ’alaih)
§  Kencinglah sambil duduk (jongkok), tetapi boleh juga sambil berdiri. Pada dasarnya buang air kecil itu di lakukan sambil duduk, berdasarkan hadits `Aisyah d yang berkata, “Siapa yang telah memberitakan kepada kamu bahwa RasulullahShollallahu ‘alahi wa sallamkencing sambil berdiri, maka jangan kamu percaya, sebab RasulullahShollallahu ‘alahi wa sallamtidak pernah kencing kecuali sambil duduk.” (HR. An-Nasa`i dan dinilai shahih oleh Al-Albani). Sekalipun demikian seseorang dibolehkan kencing sambil berdiri dengan syarat badan dan pakaiannya aman dari percikan air kencingnya dan aman dari pandangan orang lain kepadanya. Hal itu karena ada hadits yang bersumber dari Hudradhiallahu ‘anhuaifahradhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bersama NabiShollallahu ‘alahi wa sallam(di suatu perjalanan) dan ketika sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum, beliau buang air kecil sambil berdiri, maka akupun menjauh darinya. Beliaupun bersabda, “Mendekatlah ke mari.” Maka aku mendekati beliau hingga aku berdiri di sisi kedua mata kakinya. Lalu beliau berwudhu dan mengusap kedua terompahnya.” (Muttafaq ‘alaih).
§  Jangan berbicara ketika buang hajat kecuali darurat, berdasarkan hadits yang bersumber dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, “Bahwa sesungguhnya ada seorang lelaki lewat, sedangkan RasulullahShollallahu ‘alahi wa sallamsedang buang air kecil. Lalu orang itu memberi salam (kepada Nabi), namun beliau tidak menjawabnya.” (HR. Muslim).
§  Jangan bersuci (istijmar) dengan menggunakan tulang atau kotoran hewan, dan disunnatkan bersuci dengan jumlah ganjil. Di dalam hadits yang bersumber dari Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu disebutkan bahwasanya ia berkata, “Kami dilarang oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa salla beristinja’ (bersuci) dengan menggunakan kurang dari tiga biji batu, atau beristinja’ dengan menggunakan kotoran hewan atau tulang.” (HR. Muslim).
§  NabiShollallahu ‘alahi wa sallamjuga bersabda, “Barangsiapa yang bersuci meng-gunakan batu (istijmar), maka hendaklah diganjilkan.”
§  Masuklah ke WC dengan mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan berbarengan dengan dradhiallahu ‘anhuikirnya masing-masing. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia berkata, “Adalah RasulullahShollallahu ‘alahi wa sallamapabila masuk ke WC mengucapkan :
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ (متفق عليه )
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu daripada syetan jantan dan syetan betina.”
Dan apabila keluar mendahulukan kaki kanan sambil mengucapkan :
غُفْرَانَكَ(ampunan-Mu ya Allah).
§  Cuci kedua tangan sesudah menunaikan hajat. Diriwayatkan bahwasanya “NabiShollallahu ‘alahi wa sallammenunaikan hajatnya (buang air) kemudian bersuci dari air yang ada di dalam bejana kecil, lalu menggosokkan tangannya ke tanah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu)
ADAB BERPAKAIAN DAN PERHIASAN
Kamis, 04 Mei 06
C. ADAB BERPAKAIAN DAN PERHIASAN

§  Pakailah pakaiaan yang suci, jangan memakai pakaian yang najis. (Al-Mudatsir: 4)
Disunnatkan memakai pakaian baru, bagus dan bersih.
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada salah seorang shahabatnya ketika beliau melihatnya mengenakan pakaian jelek, “Apabila Allah mengaruniakan kepadamu harta, maka tampakkanlah bekas nikmat dan kemurahan-Nya itu pada dirimu.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
§  Pakaian harus menutup aurat, yaitu longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal tidak memperlihat-kan apa yang ada di baliknya.
§  Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya, berdasarkan hadits yang bersumber dari Ibnu Abbasz, ia menuturkan: “Rasulullah melaknat (mengutuk) kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.” (HR. Al-Bukhari).
Tasyabbuh atau penyerupaan itu bisa dalam bentuk pakaian ataupun lainnya.
§  Pakaian tidak merupakan pakaian show (untuk ketenaran), karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa yang mengenakan pakaian ketenaran di dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di hari Kiamat.” (HR. Ahmad, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
§  Jangan gunakan pakaian bergambar makhluk yang bernyawa atau gambar salib, karena hadits yang bersumber dari Aisyah d menyatakan bahwasanya ia berkata, “Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan pakaian yang ada gambar salibnya kecuali beliau menghapusnya.” (HR. Al-Bukhari dan Ahmad).
§  Laki-laki tidak boleh memakai emas dan kain sutera kecuali dalam keadaan terpaksa, karena hadits yang bersumber dari AliShollallahu ‘alaihi wa sallammengatakan “bahwa Nabi Allah Shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah membawa kain sutera di tangan kanannya dan emas di tangan kirinya, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya dua jenis benda ini haram bagi kaum lelaki dari umatku.” (HR. Abu Daud dan dinilai shahih oleh Al-Albani)
§  Pakaian laki-laki tidak boleh panjang melebihi kedua mata kaki, karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Apa yang berada di bawah kedua mata kaki dari kain itu di dalam Neraka.” (HR. Al-Bukhari)
Namun pakaian perempuan, harus menutup seluruh badannya, termasuk kedua kakinya atau lebih.
Adalah haram hukumnya orang yang menyeret (meng-gusur) pakaiannya karena sombong dan bangga diri. Sebab ada hadits yang menyatakan, “Allah tidak akan memperhatikan di hari Kiamat kelak kepada orang yang menyeret kainnya karena sombong.” (Muttafaq ’alaih)
§  Disunnatkan mendahulukan bagian yang kanan ketika berpakaian atau lainnya. Aisyah Radhiallahu ‘anha di dalam haditsnya berkata, “Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam suka bertayammun (memulai dengan yang kanan) di dalam segala perihalnya, ketika memakai sandal, menyisir rambut dan bersuci.” (Muttafaq ’alaih)
§  Jika mengenakan pakaian baru bacalah,
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَسَانِي هَذَا الثَّوْبَ وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ
“Segala puji bagi Allah yang telah menutupi aku dengan pakaian ini dan mengaruniakannya kepadaku tanpa daya dan kekuatan dariku.” (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
§  Pakailah pakaian berwarna putih (ini yang terbaik), ka-rena sebuah hadits mengatakan, “Pakailah pakaianmu yang berwarna putih, karena yang putih itu adalah yang terbaik dari pakaian kamu...” (HR. Ahmad dan dinilai shahih oleh Al-Albani)
§  Gunakan parfum, kecuali bila dalam keadaan berihram untuk haji ataupun umrah, atau jika perempuan itu sedang berihdad (berkabung) atas kematian suaminya, atau jika ia berada di suatu tempat yang ada laki-laki asing (bukan mahramnya), karena larangannya shahih.
§  Haram hukumnya memasang tato, menipiskan bulu alis, memotong gigi supaya cantik dan menyambung rambut (bersanggul). Karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam di dalam haditsnya mengatakan, “Allah melaknat (mengutuk) wanita pema-sang tato dan yang minta ditato, wanita yang menipiskan bulu alisnya dan yang meminta ditipiskan dan wanita yang meruncingkan giginya supaya kelihatan cantik, (mereka) mengubah ciptaan Allah.” Dan di dalam riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan, “Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya.” (Muttafaq ’alaih).
§  Pakailah sandal atau sepatu sepasang, jangan sebelah.
Hit : 1300 | Index | kirim ke
Artikel Keluarga Sakinah
ADAB MEMBERI SALAM
Rabu, 07 Juni 06
§  Ucapan salam adalah, “Assalamu ‘alaikum …”. Makruh memberi salam dengan ucapan, “Alaikumus salam” karena di dalam hadits Jabirradhiallahu ‘anhu diriwayatkan bahwasanya ia menuturkan, “Aku pernah menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku berkata, “Alaikas salam ya Rasulallah.” Nabi menjawab, “Jangan kamu mengatakan, “Alaikas salam”. Di dalam riwayat Abu Daud disebutkan, “Karena sesungguhnya ucapan “alaikas salam” itu adalah salam untuk orang-orang yang telah mati.” (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dishahihkan oleh Al-Albani).
§  Mengucapkan salam tiga kali jika khalayak banyak jumlahnya. Di dalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu disebutkan bahwa “Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ia mengucapkan suatu kalimat, ia mengulanginya tiga kali. Dan apabila ia datang kepada suatu kaum, ia memberi salam kepada mereka tiga kali.” (HR. Al-Bukhari No.95).
§  Termasuk sunnah adalah orang yang mengendarai kendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki mengucap-kan salam kepada orang yang duduk, orang yang jumlahnya sedikit kepada yang banyak, dan orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Demikianlah disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang muttafaq‘alaih.
§  Keraskan suara ketika mengucapkan salam dan demikian pula menjawabnya, kecuali jika di sekitarnya ada orang-orang yang sedang tidur. Di dalam hadits Miqdad bin Al-Aswad disebutkan di antaranya, “Dan kami pun memerah susu (binatang ternak) hingga setiap orang dapat bagian minum, dan kami sediakan bagian untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Miqdad radhiallahu ‘anhu berkata,” Maka Nabi pun datang di malam hari dan mengucapkan salam yang tidak membangunkan orang yang sedang tidur, namun dapat didengar oleh orang yang terjaga.” (HR. Muslim)
§  Ucapkan salam ketika masuk ke suatu majlis dan ketika akan meninggalkannya, karena hadits menyebutkan, “Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis hendaklah mengucapkan salam. Dan apabila hendak keluar hendaklah mengucapkan salam, dan tidaklah salam yang pertama lebih utama daripada yang ke dua.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani)
§  Berikan salam ketika masuk ke suatu rumah, sekalipun rumah itu kosong, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman yang artinya,
“Dan apabila kamu akan masuk ke suatu rumah, maka ucapkanlah salam atas diri kalian.” (An-Nur: 61).
Dan berdasarkan ucapan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, “Apabila seseorang akan masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaklah ia mengucapkan,
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَعَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ
“Keselamatan bagi kalian dan kami dan bagi hamba Alloh yang sholih.” (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan dishahih-kan oleh Al-Albani).
§  Jangan memberi salam kepada orang yang sedang di WC (buang hajat), berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu yang menyebutkan, “Bahwasanya ada seseorang yang lewat sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang buang air kecil, orang itu memberi salam, namun beliau tidak menjawabnya.” (HR. Muslim).
§  Berikan salam kepada anak-anak, berdasarkan hadits yang bersumber dari Anas radhiallahu ‘anhu menyebutkan, bahwasanya ketika ia lewat di sekitar anak-anak ia mengucapkan salam, dan ia mengatakan, “Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .” (Muttafaq ’alaih)
§  Ucapan salam kepada kelompok orang, dapat dijawab oleh seorang atau sebagiannya (HR. Abu Daud no. 5210) Jangan mengucapkan salam kepada Ahli Kitab, sebab Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian terlebih dahulu memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani.....” (HR. Muslim). Dan apabila mereka yang memberi salam, maka kita jawab dengan mengucapkan وعليكم “Wa’alaikum” saja, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila Ahli Kitab memberi salam kepada kamu, maka jawablah, “Wa’alaikum.” (Muttafaq ’alaih)
§  Berikanlah salam kepada orang yang kamu kenal ataupun yang tidak kamu kenal. Di dalam hadits Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu disebutkan bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam yang manakah yang paling baik?” Jawab Nabi, “Engkau memberikan makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal dan yang belum kamu kenal.” (Muttafaq ’alaih).
§  Jawablah salam orang yang menyampaikan salam lewat orang lain dan kepada yang dititipinya. Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallamlalu berkata, “Sesungguhnya ayahku menyampaikan salam untukmu.” Maka Nabishallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab, “`Alaika wa `ala abikas salam.”
§  Jangan memberi salam dengan isyarat kecuali karena uzur, seperti karena sedang shalat atau bisu atau karena orang yang akan diberi salam itu jauh jaraknya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memberi salam seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena sesungguhnya cara penyampaian mereka memakai isyarat dengan tangan.” (HR. Al-Baihaqi dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
§  Disunnahkan atas setiap orang untuk berjabatan tangan dengan saudaranya. Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Tiada dua orang muslim yang saling berjumpa lalu berjabat tangan, melainkan diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
§  Dianjurkan untuk tidak melepas tangan terlebih dahulu di saat berjabatan tangan sebelum orang yang diajak berjabat tangan itu melepasnya.
Sahabat Anas radhiallahu ‘anhu menyebutkan, “Apabila diterima oleh seseorang untuk berjabat tangan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melepas tangannya sebelum orang itu yang melepasnya...” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)
§  Haram hukumnya membungkukkan tubuh atau sujud ketika memberi penghormatan, karena hadits yang bersumber dari Anas radhiallahu ‘anhu menyebutkan, “Ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, kalau salah seorang di antara kami berjumpa dengan temannya, apakah ia harus membungkukkan tubuhnya kepadanya?”
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak”.
Orang itu bertanya, “Apakah ia merangkul dan menciumnya?”
Jawab Nabi, “Tidak.”
Orang itu bertanya, “Apakah ia berjabat tangan dengannya?”
Jawab Nabi, “Ya, jika ia mau.” (HR. At-Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
§  Haram berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Ketika diajak jabat tangan oleh kaum wanita di saat baiat, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku tidak berjabatan tangan dengan kaum wanita.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan dishahihkan oleh Al-Albani).
§  Diizinkan berdiri menyambut kedatangan orang yang dicintai, seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh bani Quraidhah di sisi beliau agar berdiri menyambut pemimpin kaumnya, Sa’ad bin Muadz radhiallahu ‘anhu (HR. Al-Bukhari no. 6262, Muslim no. 1768, Ahmad no. 25610. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdiri menyambut putri beliau Fathimah x dan begitu pula sebaliknya (HR. Abu Daud no. 5217, At-Tirmidzi no. 3872)
ADAB MINTA IZIN
Kamis, 22 Juni 06

§  Tiga waktu yang kurang tepat untuk minta izin: Sebelum shalat Shubuh, saat Dzuhur, dan setelah Isya’ (Annur: 58). Maka orang yang akan meminta izin hendaklah memilih waktu yang tepat untuk minta izin.
§  Sambil mengucapkan salam, hendaknya orang yang akan minta izin mengetuk pintu rumah orang yang akan dikunjunginya secara pelan. Anas radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwasanya ia telah berkata, “Sesungguhnya pintu-pintu kediaman Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam diketuk (oleh para tamunya) dengan ujung kuku.” (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
§  Hendaknya orang yang mengetuk pintu tidak menghadap ke pintu yang diketuk, tetapi sebaiknya menolehkan pandangannya ke kanan atau ke kiri agar pandangan tidak tertuju kepada sesuatu di dalam rumah tersebut yang mana penghuninya tidak ingin ada orang lain melihatnya, karena dianjurkannya minta izin itu sebenarnya dianjurkan untuk menjaga pandangan.
§  Sebelum minta izin hendaknya memberi salam terlebih dahulu.
Rib`iy berkata, “Seorang lelaki dari Bani `Amir telah bercerita kepada saya seorang, bahwasanya ia pernah minta izin kepada Nabi n di saat beliau ada di suatu rumah.
Orang itu berkata, “Bolehkah saya masuk?”

Maka Nabi n berkata kepada pembantunya, “Jumpai-lah orang itu dan ajari dia cara minta izin, dan katakan kepadanya, Ucapkan Assalamu`alaikum, bolehkah saya masuk?”. (HR. Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani)
§  Minta izin itu sampai tiga kali, jika sesudah tiga kali tidak ada jawaban, maka hendaknya pulang.
Rasulullah radhiallahu ‘anhu bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu minta izin sampai tiga kali, lalu tidak mendapat izin, maka hendaklah ia pulang.” (Muttafaq ’alaih)
§  Apabila orang yang minta izin itu ditanya tentang namanya, maka hendaklah ia menyebutkan nama dan panggilannya, dan jangan mengatakan, “Saya”.
Jabir radgiallahu ‘anhu menuturkan, “Aku pernah datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan hutang yang ada pada ayah saya. Maka aku ketuk pintu (rumah Nabi).
Lalu Nabi berkata, “Siapa itu?”
Maka aku jawab, “Saya.”
Maka Nabi berkata, “Saya! Saya!” dengan nada tidak suka.”
(Muttafaq ’alaih)
§  Hendaklah peminta izin pulang apabila permintaan izinnya ditolak, karena Allah telah berfirman yang artinya:
“Dan jika dikatakan kepada kamu “pulang”, maka pulanglah kamu, karena yang demikian itu lebih suci bagi kamu.” (An-Nur: 28).
§  Hendaknya peminta izin tidak memasuki rumah apabila tidak ada orangnya, karena hal tersebut merupakan pelanggaran atas hak orang lain.
§  Menggunakan waktu sebaik-baiknya, mencukupkan dengan pembicaraan dan kepentingan seperlunya
§  Selalu menjaga sopan santun di rumah orang lain.

1 komentar: